Dia menatapku lurus, membuatku merasa terhakimi dengan perkataannya.
"Memang kenapa? Bagaimana bisa kamu menyukai hal-hal yang tidak kamu pahami? Bagaimana kamu bisa tahu sisi baik, sisi buruk, dan sifat hal itu kalau kamu bahkan tidak paham?" balasku sengit.
Beberapa detik dia terdiam sebelum untaian kata menjuntai dari mulutnya, suatu kebiasaan yang kadang membuatku tidak sabar. Kebiasaan itu membuatnya seolah-olah terlihat ia mempunyai penyakit keterlambatan berpikir, padahal tidak, dia cukup cerdas dan opini yang membuncah dalam benaknya selalu menarikku mendekat.
"Itulah masalahmu. Kamu selalu berpikir bahwa kamu harus memahami sesuatu dulu baru menyukainya. Padahal tidak begitu. Kamu bisa menyukai suatu hal baru kamu belajar memahami sifat-sifatnya. Bahkan, dalam situasi yang lebih menyakitkan, kau bisa menyukai dan terus seperti itu meskipun kamu tidak bisa memahaminya."
Aku diam sambil mencoba membayangkan kata-katanya. Aku yang suka meminum coklat hangat tanpa aku paham apa manfaat yang diberikannya pada tubuhku. Atau, aku yang menyukai kopi baru aku belajar memahami sifat-sifatnya. Kurasa maksud sesuatu yang dikatakannya bukan sesuatu seperti benda tapi orang. Manusia.
"Aku lebih memilih bisa memahami seseorang dulu, baru aku menyukainya. Dengan begitu kan aku tidak akan kesusahan menjalani hubungan dengannya," kataku tidak mau kalah.
"Kalau begitu, kita berbeda. Aku lebih suka mencintai seseorang dulu, baru aku belajar memahaminya karena bagiku belajar mencintai adalah belajar memahami dirinya."
"Bagaimana kalau akhirnya kau malah tidak bisa memahaminya?" tanyaku.
Bagiku, pemahaman itu sangatlah penting. Makanya aku selalu berusaha memahami sesuatu dulu baru memutuskan untuk terikat dengan hal itu. Aku tidak suka ketidakpahaman karena itu membuatku bingung dan selalu bertanya-tanya. Aku juga tidak akan tahu bagaimana aku harus bersikap pada orang itu jika aku belum memahami dirinya.
"Tidak masalah bagiku. Tidak semua hal bisa kita pahami, kan. Aku juga tidak akan memaksa seseorang untuk memahamiku baru berhubungan denganku. Kadang, yang kita butuhkan bukanlah pemahaman, tapi toleransi," jawabnya sambil menggaruk hidungnya.
Aku merenungi perkataannya.
Dia melanjutkan, "Kadang kau bisa memahami seseorang, tapi apakah kau pasti selalu bisa menoleransinya? Tergantung pada dirimu bisa tidak kau melakukan itu."
"Bagaimana dengan dua orang yang sama sekali tidak bisa memahami satu sama lain terikat sebuah hubungan? Bagaimana dengan dua orang yang bisa memahami tapi tidak bisa memahami hubungan mereka?"
Pertanyaan-pertanyaan itu keluar begitu saja tanpa aku bisa mencegah atau menyaringnya lebih dulu. Dia pasti sudah terbiasa dengan sikap ingin tahuku yang membuatku selalu bertanya dan dia menjawab. Peran yang diberikan padanya dari hubungan ini adalah sebagai sang penjawab nan sabar dan aku sang penanya yang bebal. Tapi, sungguh, aku sudah berusaha memahaminya dan aku menerima dirinya yang seperti itu, yang selalu membawa percakapan yang berat untuk ku resapi. Dia pasti sudah memahamiku yang kadang keras kepala dengan pendapatku. Aku hanya tidak memahami hubungan ini sejak awal. Dia bisa terasa begitu jauh sampai aku tidak bisa meraihnya dan rasanya aku tak pernah mendiami dunianya. Tapi, terkadang dia bisa membuatku merasa begitu dekat dengannya.
"Yang pertama pasti berakhir. Yang kedua mereka tidak akan bahagia."
"Kapan mereka akan bahagia?"
"Kalau hubungan mereka sudah jelas."
"Apakah jelas maksudmu adalah sebuah status? Peresmian?"
"Bukan."
"Lalu?"
"Kalau mereka sudah sama-sama menyadari betapa mereka membutuhkan satu sama lain dan ketertarikan itu yang mempertemukan mereka. Selama ketertarikan itu tidak ada, sampai kapanpun mereka tidak akan bahagia."
Aku diam. Sunyi. Aku tidak yakin apakah dia menunggu tanggapanku. Aku tidak peduli dimana akan ku letakkan rasa maluku lagi. Aku tidak peduli apa yang akan dipikirkannya nanti.
"Apakah kau mempunyai ketertarikan itu padaku?"
Aku merenungi perkataannya.
Dia melanjutkan, "Kadang kau bisa memahami seseorang, tapi apakah kau pasti selalu bisa menoleransinya? Tergantung pada dirimu bisa tidak kau melakukan itu."
"Bagaimana dengan dua orang yang sama sekali tidak bisa memahami satu sama lain terikat sebuah hubungan? Bagaimana dengan dua orang yang bisa memahami tapi tidak bisa memahami hubungan mereka?"
Pertanyaan-pertanyaan itu keluar begitu saja tanpa aku bisa mencegah atau menyaringnya lebih dulu. Dia pasti sudah terbiasa dengan sikap ingin tahuku yang membuatku selalu bertanya dan dia menjawab. Peran yang diberikan padanya dari hubungan ini adalah sebagai sang penjawab nan sabar dan aku sang penanya yang bebal. Tapi, sungguh, aku sudah berusaha memahaminya dan aku menerima dirinya yang seperti itu, yang selalu membawa percakapan yang berat untuk ku resapi. Dia pasti sudah memahamiku yang kadang keras kepala dengan pendapatku. Aku hanya tidak memahami hubungan ini sejak awal. Dia bisa terasa begitu jauh sampai aku tidak bisa meraihnya dan rasanya aku tak pernah mendiami dunianya. Tapi, terkadang dia bisa membuatku merasa begitu dekat dengannya.
"Yang pertama pasti berakhir. Yang kedua mereka tidak akan bahagia."
"Kapan mereka akan bahagia?"
"Kalau hubungan mereka sudah jelas."
"Apakah jelas maksudmu adalah sebuah status? Peresmian?"
"Bukan."
"Lalu?"
"Kalau mereka sudah sama-sama menyadari betapa mereka membutuhkan satu sama lain dan ketertarikan itu yang mempertemukan mereka. Selama ketertarikan itu tidak ada, sampai kapanpun mereka tidak akan bahagia."
Aku diam. Sunyi. Aku tidak yakin apakah dia menunggu tanggapanku. Aku tidak peduli dimana akan ku letakkan rasa maluku lagi. Aku tidak peduli apa yang akan dipikirkannya nanti.
"Apakah kau mempunyai ketertarikan itu padaku?"
Aucun commentaire:
Enregistrer un commentaire