lundi 7 octobre 2013

Dinamika Dalam Satu Bulatan Waktu

Aku adalah jarum detik.
Kamu adalah jarum menit.
Dan cinta adalah jarum jam yang datang terlambat.

Ada satu waktu dimana aku menghimpitmu
dan kamu bergerak mengejarku yang melesat
Tapi cinta selalu datang terlambat

Dan ada juga satu masa
saat aku sudah melesat begitu jauh di antariksa waktu
tapi kau disana melenggang dalam dimensimu,
dan jam yang lambat itu tersesat jauh di belantara
kita bertiga berpencar dalam dunia masing-masing

Tapi, bukankah ada saat-saat indah yang terjadi hanya enampuluh detik
ketika aku, kamu, dan cinta yang terlambat datang
membentuk satu harmoni yang cantik dengan berdiri pada satu titik?

Karena setelah terpencar begitu jauh, melesat begitu cepat
dan merindu sampai sendu
suatu saat, detik akan menemukan menitnya
dan jam akan melengkapi harmoni waktu yang indah

Kamu dalam aku

Kamu adalah kemarin yang tersisa pada hari ini
aku adalah hari esok yang tersembunyi di kemarin

Adalah tetes terakhir kopi dalam cangkir yang ku sesap
biar kafein menumpuk dalam darahku, menjadi bahagia dalam candu
karena tetes terakhir selalu membuatku tergoda
untuk menyesapnya lagi dan lagi

kamu adalah subuh yang biru
dingin tapi membuatku tersenyum bahagia menyambutmu
tapi, tetap saja dingin
begitu setiap hari

kamu adalah jarum menit,
aku adalah jarum detik
dan cinta adalah jarum jam yang datang terlambat
ada kala dimana kita saling menghimpit, dekat
ada kala kita didefinisikan jarak, jauh
tapi kita akan menghimpit lagi

kenapa aku adalah jarum detik?
karena rasanya cepat sekali aku merindumu, lagi

jeudi 3 octobre 2013

bulan sabit biru

Sejujurnya, sampai pada detik ini, aku masih menyimpan perasaan berwarna biru sebiru jaketmu.
Namun, pada bulan sabit kesembilan, aku ingin menemui sosokmu yang ada dalam diriku dan bicara padanya
"Aku harus melupakanmu"


Sembilan bulan sabit adalah waktu yang lama bagiku untuk berkawan dengan perasaan dan diam dalam dimensi tersenyapku bersama sosokmu yang ada di dalam sini.
Kau adalah bintang biru pada galaksiku,
adalah hangat pada subuhku yang biru,
adalah awan putih pada langit siangku,
dan adalah rindu pada malam-malamku.

Kau tahu, aku akan ingat hal-hal tentangmu. Mungkin seperti saat pertama aku mengeja namamu sebelum berjuta ejaan setelah detik itu, saat aku dan kamu sama-sama terjaga di tengah gulitanya malam namun diam dalam sunyi tak bicara apapun selain memandang gemerlap lalu lalang kendaraan, saat aku bicara padamu, atau saat aku menjawab tanda tanya yang kau sodorkan.

Dan, hal-hal kecil itu juga tidak akan lupa disebutkan. Aku akan ingat caramu berjalan, caramu menatap dari balik lensa-lensa yang lugas, caramu tersenyum tanpa gigi terekspos pada kedua mataku yang memperhatikan, dan caramu menatapku saat menyodorkan tanda tanya. Belum lagi suara tawamu.

Tapi, apakah kau akan ingat aku setelah sang jarak telentang di antara duniamu dan duniaku?
Mungkin seperti caraku memanggilmu. Tidak dengan nama depanmu karena aku tak terbiasa dengan itu tapi dengan nama tengah. Satu darimu yang paling akrab untukku.

Oh ya, aku masih akan menyimpan nomormu.

Tapi, kamu akan menjadi sama dengan yang lain. Yang lain yang mana?
Yang lain yang kulupakan.

Kenapa?
Aku tidak tahu. Aku ingin membuat diriku sendiri lupa cara mengeja namamu yang sudah kuhapal.
Aku tidak ingin memandangi punggungmu yang menyusuri jalan raya.
Bukannya aku lelah duduk manis di bawah galaksi biruku memandangimu berpolah. Aku hanya menyadari bahwa inchi-inchi yang mengangkang ini kelak akan menemukan waktu revolusinya menjadi raksasa kilometer. Kian jauh.

Dengar, meskipun ini adalah satu dari prosa bisu yang lantang berperasaan, kalau Tuhan ingin melihat suatu lakon bertokohkan aku denganmu pada suatu hari di masa depan yang dijanjikan mimpi-mimpi, sudah jadi pasti bawa pada saat itu juga kamu dan aku akan saling berjanji kelingking. Untuk bersama.