Sejujurnya, sampai pada detik ini, aku masih menyimpan perasaan berwarna biru sebiru jaketmu.
Namun, pada bulan sabit kesembilan, aku ingin menemui sosokmu yang ada dalam diriku dan bicara padanya
"Aku harus melupakanmu"
Sembilan bulan sabit adalah waktu yang lama bagiku untuk berkawan dengan perasaan dan diam dalam dimensi tersenyapku bersama sosokmu yang ada di dalam sini.
Kau adalah bintang biru pada galaksiku,
adalah hangat pada subuhku yang biru,
adalah awan putih pada langit siangku,
dan adalah rindu pada malam-malamku.
Kau tahu, aku akan ingat hal-hal tentangmu. Mungkin seperti saat pertama aku mengeja namamu sebelum berjuta ejaan setelah detik itu, saat aku dan kamu sama-sama terjaga di tengah gulitanya malam namun diam dalam sunyi tak bicara apapun selain memandang gemerlap lalu lalang kendaraan, saat aku bicara padamu, atau saat aku menjawab tanda tanya yang kau sodorkan.
Dan, hal-hal kecil itu juga tidak akan lupa disebutkan. Aku akan ingat caramu berjalan, caramu menatap dari balik lensa-lensa yang lugas, caramu tersenyum tanpa gigi terekspos pada kedua mataku yang memperhatikan, dan caramu menatapku saat menyodorkan tanda tanya. Belum lagi suara tawamu.
Tapi, apakah kau akan ingat aku setelah sang jarak telentang di antara duniamu dan duniaku?
Mungkin seperti caraku memanggilmu. Tidak dengan nama depanmu karena aku tak terbiasa dengan itu tapi dengan nama tengah. Satu darimu yang paling akrab untukku.
Oh ya, aku masih akan menyimpan nomormu.
Tapi, kamu akan menjadi sama dengan yang lain. Yang lain yang mana?
Yang lain yang kulupakan.
Kenapa?
Aku tidak tahu. Aku ingin membuat diriku sendiri lupa cara mengeja namamu yang sudah kuhapal.
Aku tidak ingin memandangi punggungmu yang menyusuri jalan raya.
Bukannya aku lelah duduk manis di bawah galaksi biruku memandangimu berpolah. Aku hanya menyadari bahwa inchi-inchi yang mengangkang ini kelak akan menemukan waktu revolusinya menjadi raksasa kilometer. Kian jauh.
Dengar, meskipun ini adalah satu dari prosa bisu yang lantang berperasaan, kalau Tuhan ingin melihat suatu lakon bertokohkan aku denganmu pada suatu hari di masa depan yang dijanjikan mimpi-mimpi, sudah jadi pasti bawa pada saat itu juga kamu dan aku akan saling berjanji kelingking. Untuk bersama.
Namun, pada bulan sabit kesembilan, aku ingin menemui sosokmu yang ada dalam diriku dan bicara padanya
"Aku harus melupakanmu"
Sembilan bulan sabit adalah waktu yang lama bagiku untuk berkawan dengan perasaan dan diam dalam dimensi tersenyapku bersama sosokmu yang ada di dalam sini.
Kau adalah bintang biru pada galaksiku,
adalah hangat pada subuhku yang biru,
adalah awan putih pada langit siangku,
dan adalah rindu pada malam-malamku.
Kau tahu, aku akan ingat hal-hal tentangmu. Mungkin seperti saat pertama aku mengeja namamu sebelum berjuta ejaan setelah detik itu, saat aku dan kamu sama-sama terjaga di tengah gulitanya malam namun diam dalam sunyi tak bicara apapun selain memandang gemerlap lalu lalang kendaraan, saat aku bicara padamu, atau saat aku menjawab tanda tanya yang kau sodorkan.
Dan, hal-hal kecil itu juga tidak akan lupa disebutkan. Aku akan ingat caramu berjalan, caramu menatap dari balik lensa-lensa yang lugas, caramu tersenyum tanpa gigi terekspos pada kedua mataku yang memperhatikan, dan caramu menatapku saat menyodorkan tanda tanya. Belum lagi suara tawamu.
Tapi, apakah kau akan ingat aku setelah sang jarak telentang di antara duniamu dan duniaku?
Mungkin seperti caraku memanggilmu. Tidak dengan nama depanmu karena aku tak terbiasa dengan itu tapi dengan nama tengah. Satu darimu yang paling akrab untukku.
Oh ya, aku masih akan menyimpan nomormu.
Tapi, kamu akan menjadi sama dengan yang lain. Yang lain yang mana?
Yang lain yang kulupakan.
Kenapa?
Aku tidak tahu. Aku ingin membuat diriku sendiri lupa cara mengeja namamu yang sudah kuhapal.
Aku tidak ingin memandangi punggungmu yang menyusuri jalan raya.
Bukannya aku lelah duduk manis di bawah galaksi biruku memandangimu berpolah. Aku hanya menyadari bahwa inchi-inchi yang mengangkang ini kelak akan menemukan waktu revolusinya menjadi raksasa kilometer. Kian jauh.
Dengar, meskipun ini adalah satu dari prosa bisu yang lantang berperasaan, kalau Tuhan ingin melihat suatu lakon bertokohkan aku denganmu pada suatu hari di masa depan yang dijanjikan mimpi-mimpi, sudah jadi pasti bawa pada saat itu juga kamu dan aku akan saling berjanji kelingking. Untuk bersama.
Aucun commentaire:
Enregistrer un commentaire