lundi 4 novembre 2013

Tujuh Telepon

Mungkin aku adalah langit yang selalu jatuh cinta pada pagi atau kamu adalah kelabu langit yang samar, tak terjemahkan oleh indra pembacaku.

.

Samar kudengar benda hitam persegi dalam genggamanku berdering akibat pikiranku tajam menancap pada pengamatanku. Lalu, kemudian aku terkejut dalam beberapa detik yang ingin selalu ku ingat ketika mendapati sebaris nama muncul lengkap dengan tanda hijau yang serasa memukul-mukul layar.
Dan udara terlalu panas untuk sebuah mimpi.
Sehingga aku menerima telepon itu dengan kesegeraan yang berdebar.

"Halo, ada apa?" sapaku perlahan.

Beberapa detik yang sunyi sementara aku menunggu suaramu menyambutku dari seberang. Entah kabar apa yang kau bawa untukku.

"Halo, ini siapa?"
Lucu. Bukankah kamu yang meneleponku? Kenapa kamu yang bertanya siapa aku?
Tidak. Bukan itu. Aku terkesima pada suara di telepon itu. Tidak seperti suaramu yang selama ini mampir dalam telingaku dan menggema dalam celah-celah kepalaku. Jadi, begini ya suaramu di telepon, pikirku.

"Ini aku. Siapa lagi?" jawabku, tak habis pikir bagaimana kau bisa bertanya seperti itu.
"Kamu dimana?"
Aku ada pada udara yang kau hirup dan ada pada ruang-ruang kekinianmu. Tidak bisakah kau melihatku dalam ingatanmu tentang hari-hari yang melelahkan? 
Tapi, kejutku meluap saat kudengar suaramu dari seberang menuturkan hal buruk yang baru saja kau lalui sehingga kau terlambat hari ini.

"Biar aku aja yang kesana. Kamu dimana?
Biar aku yang mencarimu hari ini karena aku tahu aku tidak selalu akan seperti ini, mencari dan menemukanmu. Aku yakin kaulah yang akan menemukanku nanti, substansi dari dimensi putih abu yang duduk manis dalam sudut otakmu.

Dan dimulailah perjuanganku menemukanmu di antara ramainya pasar.
Mataku sibuk mengindra keberadaanmu disana dan disini.

"Aku yang pake baju biru," katamu.
Kau adalah biru, warna yang akan selalu ku cari.
Aku adalah biru, warna yang melekat menghangatkan tubuhmu.

Aku berjalan tergesa, tidak ingin membuatmu menunggu, tidak pula peduli pada beberapa pasang mata mengarah padaku. Tapi, apakah kerumunan ini peduli pada gadis yang diam-diam jatuh cinta pada seseorang yang tersesat di antara mereka?
Atau, apakah aku harus mengingat pasar yang gaduh ini sebagai salah satu tempat yang mengingatkanku padamu?

Sesosok lelaki dalam jaket biru dan baju kelabu, kelabu sepertiku, sedang berdiri dengan cemas menatap teleponnya. Benda putih persegi.
Dan, panggilanku dalam setengah teriakan mengakhiri penantianmu dan pencarianku. Pada direksi ini, detik ini, dan dalam tatapan yang saling menemukan.

 Tapi, pada detik itu juga, aku bertanya pada Tuhan.
"Kenapa pada hari ini kau buat aku yang mencari dan menemukannya, Tuhan? Apakah akan ada suatu hari yang dia bahkan tidak tahu dan aku pun tidak untuk aku dan dia?"

...Karena aku hanya harus percaya.

Aucun commentaire:

Enregistrer un commentaire