Kamu tahu aku sedang apa?
Aku tahu kamu bisa menebaknya. Benar, aku membaca Norwegian Wood beberapa menit lalu sebelum memutuskan untuk berhenti, karena tiba-tiba menyeruak tanda tanya tentang apa yang kau lakukan jauh, jauh disana. Aku tak melakukan apa-apa ketika kamu mendaki. Cuma membaca novel itu, mendengarkan musik, pergi berjalan-jalan. Hanya itu-itu saja dan sama sekali tidak mengesankan. Satu-satunya kegiatan yang membuatku antusias dalah janji dengan sahabatku pukul empat sore nanti.
Apa kamu masih terus mendaki gunung? Atau, kamu sedang beristirahat? Atau, apakah kamu sudah sampai di puncak gunung dan sedang mengabadikan peristiwa-peristiwa membahagiakan di atas sana?
Sudah puluhan jam dan aku masih akan menghitung beberapa jam lagi. Aku mengeluh betapa aku terus menulis sajak, prosa, apapun tentang rindu. Norak sekali. Kamu pun akan menjadikanku bahan bercandaan karena ini. Aku bosan bertanya apa kamu juga diam-diam merindu. Aku lebih ingin dengar cerita-ceritamu saat mendaki. Aku ingin dengar hal-hal konyol apa saja yang kau alami, kemudian kita akan menertawakannya bersama. Kemudian kita akan berbicara panjang lebar lagi tentang apa saja. Tidak hanya sekedar percakapan-percakapan, aku juga ingin dengar suaramu, sayang. Aku ingin dengar suara yang wujud rekamannya kuputar ulang ketika rindu menggelitikiku.
vendredi 24 juillet 2015
membicarakan rindu
"Aku bingung. Sebenarnya, rindu itu perasaan seperti apa? Sampai mana batas perasaan itu? Bias, batanya sangat bias," kataku selagi ia memainkan ujung-ujung jemari kaki merah marunnya.
Aku memandangi jari jemari kakinya dengan hampa selagi memikirkan pertanyaanku tadi. Setiap orang dengan mudah berujar mereka sedang merindu dan aku bertanya-tanya bagaimana mereka tahu sebetulnya mereka sedang benar-benar merasakan rindu. Atau, apakah kata itu sudah menjadi sedemikian ringan sehingga mudah diucapkan, ketika tidak sungguh-sungguh dimaksudkan? Kalau begitu, berarti mereka sedang melakukan kebohongan terhadap diri sendiri dan orang lain. Aku segera beralih pada pemikiran lain yang jauh lebih positif, enggan memikirkan kebohongan, sekalipun kebohongan itu putih.
Aku mencoba membayangkan rasanya menjalani hari tanpa orang yang biasanya menemani. Betul, aku akan merasa kehilangan seperti orang-orang itu. Sebenarnya lebih pada karena itu berlawanan dengan kebiasaan dan apapun yang tak sejalan dengan kebiasaan selalu terasa ganjil. Barangkali aku akan merasakan resah. Kemudian aku akan merasa sepi, sekalipun sebenarnya dunia di sekitarku dipenuhi putaran lagu-lagu era 70-an dari radio lama milik ayah. Sepi. Ganjil dan sepi.
"Apa rindu itu menjelma sepi? Atau, apakah rindu itu adalah perasaan sepi itu sendiri? Kamu bayangkan, tiba-tiba seseorang yang biasanya menjalani hari denganmu terpaksa tidak lagi disitu bersamamu dan seharian itu kamu melawan kebiasaanmu. Aku akan merasa kesepian..." kataku.
Aku tak butuh lama untuk tanggapannya.
"Kalau begitu kamu merasa kesepian, bukan merindu."
Aku menyangkal. Tidak, tidak begitu.
"Lalu, seperti apa? Aku memikirkan yang secara nyata terjadi, bukankah seperti itu? Kamu yang lebih bisa merasakan."
Sosok merah marunnya menghela napas, seolah akan memulai penjelasan yang panjang. Aku memperbaiki posisi dudukku selagi menunggu kalimat berderet-deret yang akan ia ucapkan.
"Jadi, ya, aku sependapat kalau seperti pendapatmu tadi, maka kamu melawan kebiasaan dan itu rasanya ganjil. Aku bisa merasakan ganjil itu rasanya seperti apa. Tetapi, merindu lebih dari sekedar itu. Merindu itu rumit dan sederhana pada saat yang bersamaan. Merindu itu rumit, karena kamu merasakan resah dan kesepian pada saat yang sama. Tapi, rindu itu sederhana, karena rindu itu akan tuntas, setuntas-tuntasnya, ketika kamu bertemu dengannya."
Dia menambahkan, "Kamu akan tahu jika rindu berbeda dengan sepi, ketika kamu mencintai dia. Kamu tak meyakin-yakinkan dirimu kamu mencintainya ketika dia tidak sedang di sekitaran. Ketika kamu rindu, kamu benar-benar sudah tahu seperti apa perasaanmu padanya. Kamu tahu itu rindu, karena sekedar sepi tidak akan membuatmu sampai resah, sampai menjelmakan rindu tadi menjadi sajak, percakapan imajiner, atau apa saja, apalagi sampai membawa namanya dalam doamu."
Aku terkagum-kagum pada penjelasan panjangnya yang mengesankan. Ia menepuk bahu merah mudaku lembut,
"Kamu tahu, Otak? Apa yang paling aku senang dari merindu?"
"Tidak, Hati. Apa memangnya?"
"Karena kita bekerja dengan sinergis, aku merasakan itu dan kamu membuat inang kita mengingat lagi ingatan-ingatan itu. Sementara, ketika inang ini jatuh cinta, kita seringkali bekerja dalam kontradiksi sekalipun pada akhirnya kamu seringkali kalah dengan perasaan itu."
Aku berpikir sejenak. "Aku suka saat-saat merindu seperti ini, tapi aku lebih senang saat inang ini jatuh cinta. Sekalipun akal-akal logis kalah, tapi ketika kau bahagia, Hati, aku juga merasakan bahagia yang sama," jawabku.
Aku memandangi jari jemari kakinya dengan hampa selagi memikirkan pertanyaanku tadi. Setiap orang dengan mudah berujar mereka sedang merindu dan aku bertanya-tanya bagaimana mereka tahu sebetulnya mereka sedang benar-benar merasakan rindu. Atau, apakah kata itu sudah menjadi sedemikian ringan sehingga mudah diucapkan, ketika tidak sungguh-sungguh dimaksudkan? Kalau begitu, berarti mereka sedang melakukan kebohongan terhadap diri sendiri dan orang lain. Aku segera beralih pada pemikiran lain yang jauh lebih positif, enggan memikirkan kebohongan, sekalipun kebohongan itu putih.
Aku mencoba membayangkan rasanya menjalani hari tanpa orang yang biasanya menemani. Betul, aku akan merasa kehilangan seperti orang-orang itu. Sebenarnya lebih pada karena itu berlawanan dengan kebiasaan dan apapun yang tak sejalan dengan kebiasaan selalu terasa ganjil. Barangkali aku akan merasakan resah. Kemudian aku akan merasa sepi, sekalipun sebenarnya dunia di sekitarku dipenuhi putaran lagu-lagu era 70-an dari radio lama milik ayah. Sepi. Ganjil dan sepi.
"Apa rindu itu menjelma sepi? Atau, apakah rindu itu adalah perasaan sepi itu sendiri? Kamu bayangkan, tiba-tiba seseorang yang biasanya menjalani hari denganmu terpaksa tidak lagi disitu bersamamu dan seharian itu kamu melawan kebiasaanmu. Aku akan merasa kesepian..." kataku.
Aku tak butuh lama untuk tanggapannya.
"Kalau begitu kamu merasa kesepian, bukan merindu."
Aku menyangkal. Tidak, tidak begitu.
"Lalu, seperti apa? Aku memikirkan yang secara nyata terjadi, bukankah seperti itu? Kamu yang lebih bisa merasakan."
Sosok merah marunnya menghela napas, seolah akan memulai penjelasan yang panjang. Aku memperbaiki posisi dudukku selagi menunggu kalimat berderet-deret yang akan ia ucapkan.
"Jadi, ya, aku sependapat kalau seperti pendapatmu tadi, maka kamu melawan kebiasaan dan itu rasanya ganjil. Aku bisa merasakan ganjil itu rasanya seperti apa. Tetapi, merindu lebih dari sekedar itu. Merindu itu rumit dan sederhana pada saat yang bersamaan. Merindu itu rumit, karena kamu merasakan resah dan kesepian pada saat yang sama. Tapi, rindu itu sederhana, karena rindu itu akan tuntas, setuntas-tuntasnya, ketika kamu bertemu dengannya."
Dia menambahkan, "Kamu akan tahu jika rindu berbeda dengan sepi, ketika kamu mencintai dia. Kamu tak meyakin-yakinkan dirimu kamu mencintainya ketika dia tidak sedang di sekitaran. Ketika kamu rindu, kamu benar-benar sudah tahu seperti apa perasaanmu padanya. Kamu tahu itu rindu, karena sekedar sepi tidak akan membuatmu sampai resah, sampai menjelmakan rindu tadi menjadi sajak, percakapan imajiner, atau apa saja, apalagi sampai membawa namanya dalam doamu."
Aku terkagum-kagum pada penjelasan panjangnya yang mengesankan. Ia menepuk bahu merah mudaku lembut,
"Kamu tahu, Otak? Apa yang paling aku senang dari merindu?"
"Tidak, Hati. Apa memangnya?"
"Karena kita bekerja dengan sinergis, aku merasakan itu dan kamu membuat inang kita mengingat lagi ingatan-ingatan itu. Sementara, ketika inang ini jatuh cinta, kita seringkali bekerja dalam kontradiksi sekalipun pada akhirnya kamu seringkali kalah dengan perasaan itu."
Aku berpikir sejenak. "Aku suka saat-saat merindu seperti ini, tapi aku lebih senang saat inang ini jatuh cinta. Sekalipun akal-akal logis kalah, tapi ketika kau bahagia, Hati, aku juga merasakan bahagia yang sama," jawabku.
jeudi 23 juillet 2015
jam jam rindu
Satu dua
tiga jam berlalu, kemudian beberapa puluh jam lagi yang habis untuk menunggumu,
akan ku kumpulkan dalam satu tumpukan. Mulanya para jam itu akan saling
mengenali dengan mudah, gara-gara tubuh mereka semua serupa, syaraf-syarafnya
dibangun dengan rindu. Mereka akan mulai saling meleburkan diri, kemudian
mengendap di dalam udara yang bebas. Bergerak terbawa udara lalu tiba-tiba berjumpa
angin gunung yang mengantarkannya kepada seseorang yang sedang dalam
pendakiannya, kamu. Mereka akan diam-diam mengikutimu, lekat dengan gerak-gerik
tubuhmu. Sekalipun, mereka tak akan membebaskan diri. Namun, rindu itu akan pecah
menjadi rintik-rintik imajiner yang siap menghujanimu kapan saja. Aku tega
mengirim rindu untuk menghujanimu, sebab rinduku ingin segera bertemu dengan
muaranya. Kamu.
dimanche 19 juillet 2015
rasa dalam secangkir kopi
Perempuan itu meneguk kopinya sedikit demi sedikit. Aku memperhatikan wajahnya ketika tatapan tajam mata itu tak memperhatikanku, ketika ia benar-benar larut dalam kopi hitam pahit kesukaannya. Ia terlihat tenang, tetapi ketenangan permukaannya membuatku ingin meraba lebih jauh apa yang ada di dalam sana.
Tetapi, dia begitu bebas. Dia memiliki semua yang dia mau dan dia melakukan apa yang dia inginkan. Dia berbeda dariku dalam kebanyakan hal, termasuk tentang cara pikirnya dan gaya hidupnya. Dia adalah rupa sempurna seorang perempuan masa kini. Dia yang tidak peduli dan aku yang diam-diam jatuh hati pada perempuan di hadapanku ini.
"Kau begitu suka kopi, ya?" tanyaku begitu ia meletakkan kembali cangkir putih pada piringnya.
"Ya," jawabnya. "Aku sudah kecanduan."
"Katanya, kopi tidak baik untuk perempuan," kataku lagi.
Aku sama sekali tak tahu apa-apa tentang kopi dan alih-alih berusaha sok tahu lalu berujung malu, aku hanya bisa mengatakan fakta penelitian tentang hubungan kopi dengan perempuan yang tidak sehat.
"Lalu, apa kau pikir aku akan berhenti menyukai dan mencandu kopi jika seluruh dunia menghakimi betapa buruknya kopi untukku?" ia balik bertanya.
Aku tahu apa artinya itu.
Kemudian ia bercerita bagaimana perjalanan rasa candunya kepada kopi, bagaimana semua orang menentang itu, dan bagaimana ia, karena penyakitnya, terpaksa mengurangi eksistensi kopi dalam hidupnya. Begitu ia mengkhatamkan bagian tentang kopi dalam perjumpaan ini, aku segera melempar komentarku untuknya.
"Pada akhirnya, kau mengurangi kopi. Berarti, kau lebih mencintai dirimu sendiri, ketimbang kopi yang menjadi kecanduanmu itu."
Dia tersenyum sinis. "Kau salah. Aku mengurangi kopi, supaya aku bisa lebih lama menikmati kopi dalam hidup ini."
Kopi baginya adalah sebuah candu, sebagaimana mencintainya adalah canduku. Aku tak mau menaruh harap, tetapi terus dekat dengannya seperti menumpahkan secangkir kopi di atas kain dari katun, kian lama kian meresap. Pertanyaannya adalah apakah ia pernah dengan sengaja memberiku harapan? Ia bahkan tak pernah sengaja menyentuh cangkir kopi itu, tetapi justru aku yang terus berusaha menumpahkan seluruh isinya yang sepekat jelaga.
Aku diam-diam mencandu dan ia adalah canduku. Aku tidak mau, sekali saja tak mau, mengurangi dosis eksistensinya dalam hidupku. Ironisnya aku pun tak ingin dengan sengaja membuat ia tahu tentang kecanduanku itu. Aku seolah lebih memilih untuk memelihara rasa, seperti memelihara tanaman kopi. Kelak jika tanaman itu telah dewasa akan kupanen buahnya, lalu kuolah bijinya sedemikian rupa. Kemudian akan ku berikan ia secangkir kopi racikanku. Biar aku jadi barista untuk biji-biji rasa yang diam-diam tumbuh karenanya dan biar ia juga yang merasakan seperti apa itu cinta. Dan tentu saja, rasa cinta itu seperti secangkir kopinya jika ditambah dengan dua bungkus gula. Lalu, aku akan berdoa semoga pada saat itu, aku ada di hadapannya dan sedang tersenyum menahan bahagia melihatnya larut dalam nikmat secangkir kopi itu.
Aku diam sesaat, memikirkan hal apa yang bisa kukatakan demi menjaga percakapan ini tetap mengudara setelah hanyut dalam pikiran-pikiran tadi.
"Apa kau pernah berpikir untuk menghilangkan candumu?"
"Jika kau jatuh cinta padaku dan aku membuatmu bahagia, apakah kau pernah berpikir untuk berhenti mencintaiku?" dia bertanya.
Kopi baginya adalah sebuah candu, sebagaimana mencintainya adalah canduku. Aku tak mau menaruh harap, tetapi terus dekat dengannya seperti menumpahkan secangkir kopi di atas kain dari katun, kian lama kian meresap. Pertanyaannya adalah apakah ia pernah dengan sengaja memberiku harapan? Ia bahkan tak pernah sengaja menyentuh cangkir kopi itu, tetapi justru aku yang terus berusaha menumpahkan seluruh isinya yang sepekat jelaga.
Aku diam-diam mencandu dan ia adalah canduku. Aku tidak mau, sekali saja tak mau, mengurangi dosis eksistensinya dalam hidupku. Ironisnya aku pun tak ingin dengan sengaja membuat ia tahu tentang kecanduanku itu. Aku seolah lebih memilih untuk memelihara rasa, seperti memelihara tanaman kopi. Kelak jika tanaman itu telah dewasa akan kupanen buahnya, lalu kuolah bijinya sedemikian rupa. Kemudian akan ku berikan ia secangkir kopi racikanku. Biar aku jadi barista untuk biji-biji rasa yang diam-diam tumbuh karenanya dan biar ia juga yang merasakan seperti apa itu cinta. Dan tentu saja, rasa cinta itu seperti secangkir kopinya jika ditambah dengan dua bungkus gula. Lalu, aku akan berdoa semoga pada saat itu, aku ada di hadapannya dan sedang tersenyum menahan bahagia melihatnya larut dalam nikmat secangkir kopi itu.
Aku diam sesaat, memikirkan hal apa yang bisa kukatakan demi menjaga percakapan ini tetap mengudara setelah hanyut dalam pikiran-pikiran tadi.
"Apa kau pernah berpikir untuk menghilangkan candumu?"
"Jika kau jatuh cinta padaku dan aku membuatmu bahagia, apakah kau pernah berpikir untuk berhenti mencintaiku?" dia bertanya.
Inscription à :
Articles (Atom)