"Aku bingung. Sebenarnya, rindu itu perasaan seperti apa? Sampai mana batas perasaan itu? Bias, batanya sangat bias," kataku selagi ia memainkan ujung-ujung jemari kaki merah marunnya.
Aku memandangi jari jemari kakinya dengan hampa selagi memikirkan pertanyaanku tadi. Setiap orang dengan mudah berujar mereka sedang merindu dan aku bertanya-tanya bagaimana mereka tahu sebetulnya mereka sedang benar-benar merasakan rindu. Atau, apakah kata itu sudah menjadi sedemikian ringan sehingga mudah diucapkan, ketika tidak sungguh-sungguh dimaksudkan? Kalau begitu, berarti mereka sedang melakukan kebohongan terhadap diri sendiri dan orang lain. Aku segera beralih pada pemikiran lain yang jauh lebih positif, enggan memikirkan kebohongan, sekalipun kebohongan itu putih.
Aku mencoba membayangkan rasanya menjalani hari tanpa orang yang biasanya menemani. Betul, aku akan merasa kehilangan seperti orang-orang itu. Sebenarnya lebih pada karena itu berlawanan dengan kebiasaan dan apapun yang tak sejalan dengan kebiasaan selalu terasa ganjil. Barangkali aku akan merasakan resah. Kemudian aku akan merasa sepi, sekalipun sebenarnya dunia di sekitarku dipenuhi putaran lagu-lagu era 70-an dari radio lama milik ayah. Sepi. Ganjil dan sepi.
"Apa rindu itu menjelma sepi? Atau, apakah rindu itu adalah perasaan sepi itu sendiri? Kamu bayangkan, tiba-tiba seseorang yang biasanya menjalani hari denganmu terpaksa tidak lagi disitu bersamamu dan seharian itu kamu melawan kebiasaanmu. Aku akan merasa kesepian..." kataku.
Aku tak butuh lama untuk tanggapannya.
"Kalau begitu kamu merasa kesepian, bukan merindu."
Aku menyangkal. Tidak, tidak begitu.
"Lalu, seperti apa? Aku memikirkan yang secara nyata terjadi, bukankah seperti itu? Kamu yang lebih bisa merasakan."
Sosok merah marunnya menghela napas, seolah akan memulai penjelasan yang panjang. Aku memperbaiki posisi dudukku selagi menunggu kalimat berderet-deret yang akan ia ucapkan.
"Jadi, ya, aku sependapat kalau seperti pendapatmu tadi, maka kamu melawan kebiasaan dan itu rasanya ganjil. Aku bisa merasakan ganjil itu rasanya seperti apa. Tetapi, merindu lebih dari sekedar itu. Merindu itu rumit dan sederhana pada saat yang bersamaan. Merindu itu rumit, karena kamu merasakan resah dan kesepian pada saat yang sama. Tapi, rindu itu sederhana, karena rindu itu akan tuntas, setuntas-tuntasnya, ketika kamu bertemu dengannya."
Dia menambahkan, "Kamu akan tahu jika rindu berbeda dengan sepi, ketika kamu mencintai dia. Kamu tak meyakin-yakinkan dirimu kamu mencintainya ketika dia tidak sedang di sekitaran. Ketika kamu rindu, kamu benar-benar sudah tahu seperti apa perasaanmu padanya. Kamu tahu itu rindu, karena sekedar sepi tidak akan membuatmu sampai resah, sampai menjelmakan rindu tadi menjadi sajak, percakapan imajiner, atau apa saja, apalagi sampai membawa namanya dalam doamu."
Aku terkagum-kagum pada penjelasan panjangnya yang mengesankan. Ia menepuk bahu merah mudaku lembut,
"Kamu tahu, Otak? Apa yang paling aku senang dari merindu?"
"Tidak, Hati. Apa memangnya?"
"Karena kita bekerja dengan sinergis, aku merasakan itu dan kamu membuat inang kita mengingat lagi ingatan-ingatan itu. Sementara, ketika inang ini jatuh cinta, kita seringkali bekerja dalam kontradiksi sekalipun pada akhirnya kamu seringkali kalah dengan perasaan itu."
Aku berpikir sejenak. "Aku suka saat-saat merindu seperti ini, tapi aku lebih senang saat inang ini jatuh cinta. Sekalipun akal-akal logis kalah, tapi ketika kau bahagia, Hati, aku juga merasakan bahagia yang sama," jawabku.
Aucun commentaire:
Enregistrer un commentaire