Kamu adalah kumpulan-kumpulan imaji. Pun kamu adalah bahan dasar untuk semua fantasi yang kusembunyikan dari siapapun. Aku seperti penulis yang sukses mendongeng pasca ditinggalkan kekasihnya. Akan tetapi, aku tidak ingin menceritakan semua ini pada dunia tanpa memberitahumu. Buat apa kuberitahu seluruh dunia kau yang aku cinta telah kujadikan pemeran utama untuk kisah-kisah rekaanku? Bagaimana kamu bisa tahu kamu memiliki makna sedalam itu sampai kubuat cerita dari masa-masa perkenalan kita? Kumohon, duduklah. Jangan beranjak dulu.
Kubayangkan kamu adalah kekasih yang mengajakku menonton bioskop berdua. Sepanjang hari kuhabiskan waktu memilah pakaian yang cocok kukenakan untuk kencan. Sepanjang malam kuhabiskan kalori memompa darah ke jantung yang tiada lelah menderu kencang di sampingmu. Kubayangkan aku menjadi kekasih yang malu-malu. Dua lembar karcis itu ku ambil darimu dan diam-diam kusimpan di dalam tas manik-manik mungil. Film ini hanya kedok saja bukan? Karena kita tidak tahu apalagi kegiatan awam yang bisa kita lakukan bersama karena bercakap-cakap selama berjam-jam kelihatannya akan membosankan dan rawan kekakuan. Pikiran-pikiranku mungkin tidak sepenuhnya ada pada jalan cerita sandiwara yang berlaga di layar selebar dinding raksasa di hadapanku. Sesekali, ia akan berpindah pada sewujud manusia yang duduk persis di sampingku.
Kubayangkan aku akan memikirkan mengapa kau mau menghabiskan waktumu denganku menonton bioskop ini. Aku hanya tidak menyangka kau menganggap aku seseorang yang layak kau beri waktumu.
Kubayangkan kau dan aku akan pergi kencan sekedar untuk berkeliling kota dan mencari makanan. Kubayangkan kau dan aku makan martabak manis bersama. Deru mesin dalam lalu lalang jalan raya yang samar dan percakapan menjadi menu sampingan. Kita bisa membicarakan apa saja, iya kan? Kau bisa bercerita bagaimana kota tempatmu menetap sementara selagi kau tidak di rumah. Lalu, aku akan menjadi pendengar yang setia untuk semua ceritamu. Akan selalu ada ruang ku sediakan untukmu, kecuali rindu. Sebab tanpa kau pergi menemuiku pun, rinduku sudah tumpah kemana-mana; pada sajadah, pipi, dan sapu tangan. Aku tidak ingin menghabiskan malam ini begitu saja. Maksudku, aku ingin berlama-lama berdua denganmu di salah satu sudut Surabaya. Aku ingin mengenangkan setiap detik peristiwa sebelum menjadikannya ingatan. Aku ingin berlama-lama denganmu selagi wujudmu masih nyata, bukan hanya dalam gambar atau percakapan digital dalam layar teleponku. Aku ingin berlama-lama menatap matamu, sebelum kembali berhadapan dengan kata-kata dalam pantulan layar. Aku ingin mengingat betul gerak-gerikmu supaya ketika aku merindu, aku bisa memimpikanmu. Aku tidak ingin kita cepat-cepat pulang, walau kau sudah janji pada Papa akan mengantarku sampai di rumah sebelum pukul sembilan. Aku tidak berani membangkang; tapi aku masih ingin mendengar suara dan raut di wajahmu saat berbicara. Aku ingin memberitahumu aku sedang jatuh cinta, tapi ku sembunyikan saja walaupun pada akhirnya aku selalu kalah pada rona di wajah dan gerak-gerikku yang kaku dan malu-malu. Aku seperti anak kecil ketika sedang kasmaran.
Kubayangkan aku mengirimi bait-bait sajak Sapardi pada setiap pagi yang acak. Aku ingin menghadiahimu puisi rekaanku tapi aku belum siap mengungkap seberapa jatuh cinta aku padamu. Kubayangkan kau kekasih yang tidak terlalu paham pada susastra. Kau yang lebih suka pada gambar-gambar nyata alih-alih kata-kata penuh reka dan rasa. Tapi, aku tidak putus menjadi kekasih yang menyatakan cinta dengan cara-cara yang tidak sederhana. Biar puitis, biar kau tak suka seni, setidaknya perihal rasaku, kau akan paham seberapa dalam ia menjadi.
Kubayangkan wujud kekasih tidak sebagai temaram lampu yang berpendar sebelum pudar di penghujung malam. Kubayangkan kau sebagai cinta yang siang menjelma lamunan-lamunan sejenak dan malam menjelma lantunan doa-doa. Kau cinta yang tidak akan habis-habisnya ku puisikan.
Kubayangkan kau kekasih yang bersetia tidak hanya dalam halang rintang namun juga dalam datarnya kejenuhan.
Kubayangkan kau kekasih yang datang bertandang ke rumah, mencium punggung tangan ayahku, dan memperkenalkan dirimu.
Kubayangkan kau kekasih yang mengutarakan niat untuk menggenapkan setengah dari agama yang kau punya.
Kubayangkan kau kekasih yang dipercaya ibu ayah untuk menjaga anak gadisnya.
Kubayangkan kau kekasih yang tidak akan pernah meninggalkan.
Kubayangkan kau kekasih dengan semua harapan.
Kubayangkan kau,
menjadi kekasihku.
Aucun commentaire:
Enregistrer un commentaire