lundi 16 mai 2016

di beranda

Beranda nanti akan jadi tempat kesayanganmu,
dimana ada sepasang bangku dan sebuah meja
memunggungi jendela menghadap pot-pot tetumbuhan
dan sepohon rindang yang setua usia si anak pertama.

Rumah ini adalah museum yang kita bangun dengan sepasang janji.
Piringan perak akan jadi benda purba pada masanya
Potret-potret wajah dan perjalanan usia di selasar
Kelak bila gigi kita muai tanggal satu persatu,
dinding bercat abu muda ini yang akan bercerita
bagaimana bisa ada anak anak lahir dari rahim semesta.

Di usia paruh baya
bayi-bayi kita menjadi dewasa muda
mentas dari bak-bak mandi yang kita belikan pakai upah kerja.
Kau tak perlu lagi cemas anak-anakmu meminjam koleksi mainanmu
tanpa sepengetahuanmu,
tapi diam-diam aku akan rindu menjadi pendongeng
yang mengantar mereka tidur dengan kecup di kening dan pipi.

Beranda ini tak akan riuh oleh derap kaki mereka
atau suara dari perbincangan lintas generasi.
Sebagai gantinya,
kau memutar piringan perak dan dengan sumbang bersuara,
berlomba mengingat lirik berikutnya.
Aku akan membacakan sajak yang kubuat semasa muda
selagi jatuh cinta.








Sabtu ibu kota

Kedai kopi yang tidak terlalu ramai di hari Sabtu-nya ibu kota.
Lima hari sebelumnya kita habiskan untuk kepenatan dan kertas-kertas.
Sore ini kita sudah berjanji akan menebus belasan cangkir kopi dalam seminggu
yang kita teguk dalam ketergesaan, kesempitan waktu yang tersisa, atau dalam kantuk dan kelesuan.

Jam-jam dengan jarumnya yang berputar cepat.
kau menantangku berlomba memunguti satu dua tiga waktu luang selama lima hari ini
dan meletakannya dalam sebotol selai kaca.
Aku menumpahkan jam-jam luang yang bersusah payah kita kumpulkan ke atas meja.

Ada anak kecil dalam diriku yang merajuk padamu
Bermanja, ia berkata "aku ingin mencuri malam hari bersamamu."

Dahimu mengernyit, alismu berkerut
Mau kau cari kemana si malam?
Haruskah kita culik dia supaya larut melambat?
Tapi, pa memangnya yang akan kita curi?
Selain hati masih yang sama-sama sembunyi.

Tidak ada potret diri berdua,
sebab telepon genggam telah kita gadaikan
untuk membeli beberapa jam pertemuan.

Di bawah lampu berpenerangan secukupnya
yang terangnya tidak benderang
namun tidak pula remang-remang,
Kita akan bercerita mengenai kesedihan;
kehampaan dewasa muda dan keinginan-keinginan yang tidak dapat dimiliki.
Sedang kesibukan adalah menu harian memuakkan
yang tidak kau atau aku pesan dalam perjumpaan malam ini.
Kita akan mabuk oleh percakapan-percakapan,
mulai dari tontonan waktu senggang sampai bakal jadi apa negara jika kita nanti empat puluh-an.
Tapi aku janji pulang nanti jalanmu tidak akan sempoyongan
dan besok pagi kau tidak akan menderita menahankan pening di kepala.
Mungkin kau hanya akan jatuh cinta,
dan aku mulai berbunga merangkai prosa.

mardi 3 mai 2016

asumsi ayahmu

Pahit kopi hitam di ujung lidah menjauhkanmu dari kantuk
secangkir yang kamu minum sedikit demi sedikit

Sekiranya pukul enam tadi pagi, ibu yang menyeduh
sambil ia sendiri menahan kantuknya
pada pukul tiga tadi ia bangun
ruku dan sujud beruntutan
masih disambung dengan doa-doa yang ia aminkan

ayah mengucap selamat pagi pada dunianya
dengan mengakrabi surat kabar,
dengan membacakan kabar-kabar dari belahan dunia
belahan negara
belahan pulau
belahan kota lain
pada dirinya.
pagi ini mata berlensanya mencuri satu dua lirik padamu
tadi malam ia agak-agak curiga,
ia menerka perilakumu yang berbeda
sudah satu, dua -tidak!- seminggu ini ia mendapati kamu, anak laki-laki satu-satunya
tersenyum pada layar telepon.
Tadi malam ia berasumsi kau sedang jatuh cinta

Yang kau tidak tahu
ayahmu membisiki ibu selepas kau masuk kamarmu
ia ingin tahu gadis itu.
cantikkah? anak gadis siapakah?
ibu dengan segala kelapangan dadanya,
mengimbangi buncah keingintahuan di mata ayah,
"Kelak kau akan bertemu dia,
gadis yang menjatuhcintakan anak laki-lakimu."

kucari kamu

Semalaman kucari kamu di kota malam hari,
Di kedai kopi yang buka hingga larut
Di bawah lampu-lampu alun-alun kota yang temaram,
atau di bangku-bangku memanjangnya yang lengang dan muak dengan rayuan.
Ku amati satu persatu kendaraan di antara lalu lalang,
Siapa tahu kau tengah berkendara menerabas angin.
Kemudian kucari kamu ke taman
di antara pepohonan tua yang seram
mungkin kamu tengah berbaring di antara rerumput hijaunya,
mungkin juga kamu yang suntuk ingin main sepeda
sepulangnya bekerja tak peduli seletih apa.
Tapi kamu tak ada,
di delapan penjuru kota ini kamu tak ada,
padahal aku berkeliling selama delapan jam tak berhenti
dengan meminjam waktu terjaga dari jatah dua puluh empat jam.
Namun justru ku temukan kamu
dalam bisik ibuku di telingaku saat aku di ambang tidur,
“ia merindukanmu,
Ia merindukanmu,"
katanya.