lundi 24 juin 2013

Hujan itu menyenangkan, ya. Semacam mengukuhkan ingatan.
Rasanya menyenangkan mengingat pertemuan-pertemuan sederhana yang tak disengaja dalam hidup ini ketika hujan turun.

vendredi 21 juin 2013

jatuh cinta

adalah sebuah sunyi dalam gaduh yang menghentak
adalah sebuah alunan dentingan simfoni dalam ketulian
adalah abu abu dalam merah, iya, langit kelabu dalam riuh kemarau
dari sebuah sudut dari pada dimensi yang sama aku menatap
mengapa aku bisa begitu lugu
mengapa aku bisa terjebak dalam sesuatu yang absurd darimu
kau tidak seperti bulan benderang,
kau juga bukan matahari yang gulita
apalagi bintang yang berkedip genit melambai
kau tidak terdefinisikan oleh ekspektasi
kau tidak terkalahkan oleh akuisisi
aku lugu tidak tahu apa-apa


dalam bentangan lenganmu aku hanyalah kupu kupu yang terlaknat
berwarna sehitam jelaga akibat dosa dan dusta
namun jadilah aku putih jika telah tersentuh olehmu
seperti debu disapu hujan
kau mencumbu impian, kau meracuni mimpi
kau membunuh argumentasi
dari dunia putih dimensi berbeda yang absurd milikku
aku memandangmu penuh asa yang melayang syahdu
dan kau menjamahnya tanpa ampun
menelanjangiku dari dosa
menyeretku pada sebuah jalan putih yang tak berkelok
membuatku tunduk dalam kekuasaanmu yang tak terbantahkan
kau, dengan gravitasimu, menjatuhcintakanku dalam sunyi


cr: taken from my old blog, http://heythereratu.blogspot.com

mercredi 19 juin 2013

Isyarat Tentang Rindu

Jangan pernah membenci hujan atau awan mendung atau panas terik. Sesungguhnya merekalah yang menyampaikan perasaan-perasaan tak tersampaikan itu dalam isyarat paling halus yang pernah kau ketahui.
Ketika aku berjalan pada suatu siang dimana matahari sedang terik-teriknya, pada saat itu rindu yang dirahasiakan itu menguap. Bersama angin, ia terus terbang meskipun bersimbah keringat untuk singgah pada awan yang bersedia menampungnya. Bersama awan, ia menetap di langit biru untuk menunggumu dan bayanganmu untuk sekedar mampir di bawahnya untuk berteduh dari teriknya matahari. Kemudian, kamu melihat langit dan menatap awan itu. Tetapi, kamu tidak mengerti apa yang ingin dikatakan awan kepadamu. Bukan karena kamu tidak memahami bahasa para awan yang begitu awam bagimu, tapi kamu memang tidak penasaran dengan isyarat yang disampaikan awan itu kepadamu.
Pada malam hari, ku biarkan awan itu meleburkan dirinya menjadi hujan yang turun menemanimu terlelap. Hujan yang mengukuhkan kecantikan mimpimu malam ini. Hujan yang mengantarkanku memasuki mimpimu, hanya untuk sekedar menjadi figurannya.
Bahkan, rindu tak tersampaikan itu akhirnya melebur bersama dunia, menyatu dengan alam, dan menjadi isyarat yang tidak juga bisa kau pahami.

dan dia bernyanyi dalam gelapnya malam

Malam tak melulu menyeramkan dan dingin. Malamku adalah malam cerah penuh kesenangan yang berlompat-lompat cantik di sekitarku dan mengajakku menari melepaskan kejenuhanku pada dunia. Malammu adalah saat bagimu untuk terlelap dan merajut mimpi yang indah-indah. Karena aku sudah berdoa agar kau mendapatkan mimpi yang cantik meskipun aku sendiri terjaga dan lupa caranya tidur.
Ketika kamu lelap dalam tidurmu, aku akan bernyanyi untukmu. Aku akan meminjam suara alam yang begitu rupawan, barangkali suara angin pantai yang lembut untuk menyanyikanmu lagu selamat tidur. Dan tidurlah kamu. Biar mimpi indah itu datang menemanimu dalam gelap. Aku akan terus bernyanyi untukmu sampai kamu terjaga lagi. Dan, pada saat itulah kamu menyadari bahwa aku adalah segala yang kamu rindukan.

apapun yang terjadi, jangan lari dari kenyataan

kenapa tidak?
karena kenyataan adalah satu-satunya tempat dimana kamu tinggal
dan kalau kamu lari dari kenyataan, dimana lagi kamu akan tinggal?
dan itulah alasannya kenapa mereka yang lari dari kenyataan untuk melupakan masalah malah akhirnya menemukan masalah.
sepertinya, dunia ini berbentuk lingkaran. karena jika kamu berlari dari suatu hal, kamu akan justru menemukan hal itu pada akhirnya pada suatu saat nanti. 

Apa aku manusia?

Aku makhluk yang punya perasaan. Tapi, apakah aku manusia yang punya perasaan?
Aku memang makhluk yang mempunyai rasa, bisa merasakan, bahkan menyembunyikan rasa. Tapi, apakah aku dengan segala kemampuanku terhadap rasa bisa disebut sebagai manusia?
Aku tidak merasa diriku manusia. Sepertinya, raut-raut wajah mereka seolah meneriakkan kata ‘kenapa’ dengan lantang.
Mereka mendengarku bertanya, barangkali sudah jengah mendengarku terus bertanya pada udara, lalu kemudian mereka menjawabku. "Kamu itu manusia!"
Benarkah aku sudah cukup manusia sebagai manusia? Aku tidak langsung mempercayai apa kata mereka yang merasa dirinya sudah cukup manusia. Jawaban mereka tidak memuaskan nafsuku tentang pertanyaan ini. Jadi, aku bertanya pada mereka yang tidak mengaku dirinya manusia.
Tidak, tidak ada yang menjawab lagi. Tentu saja. Aku cuma mengerti bahasa para manusia. Angin, awan, pohon, bahkan ikan memiliki bahasa mereka sendiri yang begitu awam untukku. Tapi, memahami bahasa manusia masih tidak membuatku merasa diriku cukup manusiawi untuk disebut manusia. Aku diam. Aku memikirkan jawaban apa yang bisa ku berikan untuk diriku. Aku mengingat segala tingkahku dan caraku berpikir. Aku terus berpikir apa jawabannya.
Aku tidak merasa diriku manusia karena manusia selayaknya bisa mengendalikan dirinya sendiri. Manusia seharusnya bisa mengendalikan perasaannya. Tapi, aku tidak merasa diriku ini manusia karena aku tidak dapat mengendalikan perasaanku untukmu. Mungkin dengan membuat perasaan ini seolah-olah tidak pernah ada, dengan mengacuhkan perasaan, aku bisa memanusiakan diriku. Aku hanya ingin menjadi manusia.
Meskipun itu berarti mengendalikan perasaanku untukmu. Mengendalikannya untuk lenyap.

Ramalan

"Jadi, kamu percaya astrologi?"
Aku tertawa. Kedengarannya tawaku begitu sarkastis sampai menohok harga diri sang penanya. Kelihatannya ia dongkol ditertawakan begitu.
"Kamu ingin jawabanku?" aku balik bertanya, memastikan apa ia benar-benar serius dengan pertanyaannya yang lugu.
"Apa aku kelihatannya sedang bercanda?" dia balik bertanya lagi.
Dia kelihatan benar-benar kesal meskipun aku yakin dia tidak butuh jawabanku. Keingintahuannya terhadapku membuatku berbelas kasihan dan memikirkan jawaban semacam apa yang dapat memuaskan keingintahuannya yang tidak penting itu.
Hening sejenak saat aku berpikir. Dengan sabar, dia duduk sambil mengaduk-aduk tehnya perlahan, menambahkan sedikit gula, lalu mengaduknya lagi.
"Kamu pikir, kenapa manusia punya dua mata?" tanyaku, berusaha memancing keingintahuannya.
"Untuk melihat lah," dia menjawab dengan malas.
"Benar. Apakah kedua mata itu bisa melihat ke dua arah?" tanyaku lagi.
"Kalau mata kananmu di atas dan mata kirmu di bawah berarti kamu juling!" katanya mulai hilang sabar lagi.
"Tidak salah," aku tersenyum. Dia menatapku dengan malas.
Kemudian, kami berdua diam. Dia bertopang dagu sambil menyentuh gagang cangkir tehnya. Mungkin kalau sabarnya sudah benar-benar habis, cangkir itu bisa melayang padaku kemudian aku tidak usah repot-repot facial karena wajahku akan dihiasi teh hangat yang manis.
"Apa mata manusia bisa melihat ke kanan dan ke kiri?" tanyaku lagi.
"Tentu saja!" sergahnya.
"Begitulah mata manusia," kataku. "Mata manusia hanya bisa melihat ke dua arah. Setiap manusia di dunia ini seperti sedang berjalan di jalan yang selurus jalan tol. Mereka hanya bisa melihat di kilometer berapa mereka melaju saat ini dan menoleh ke belakang dan melihat kilometer berapa saja yang sudah mereka lalui."
Aku memandang hujan yang membasahi jendela kaca sementara, dia sudah terlihat antusias menunggu jawaban yang akan ku utarakan.
"... Manusia tidak bisa melihat dengan jelas kilometer di depannya. Dia tidak akan tahu ada apa dan bagaimana kilometer di depannya. Manusia hanya bisa melihat saat ini dan masa lalu. Kanan dan kirinya adalah ilusi yang seperti kabut dalam udara," aku berhenti sejenak.
"Lalu?"
"Lalu, manusia yang bodoh akan mengira-ngira seperti apa keadaan kilometer di depannya. Dia pikir disana jalannya mulus jadi dia menambah kecepatan, tidak tahunya begitu dia sampai ternyata ada kubangan air. Apa menurutmu perkiraan manusia itu benar?"
"Tidak."
"Dan begitu juga dengan ramalan," pungkasku.
"Jadi, apa kamu percaya ramalan?" dia mengulang pertanyaannya lagi.
"Kamu sudah tahu jawabannya. Aku sudah memberikannya," jawabku sambil meneguk tetes kopi hangat terakhirku.

dimanche 16 juin 2013

Cerita Ampas Kopi di Malam Hari

Cerita Ampas Kopi

Saya lagi memandangi ampas kopi di dalem mug putih bulat di samping laptop. Ampasnya bener-bener hitam sampai-sampai dasar mug saya warnanya jadi agak ternoda gara-gara ampas kopi. Tapi, ampas kopi itu wangi meskipun menodai mug putih bulatku.

Lihat-lihat ampas kopi ini, saya jadi ingat kamu. Kopi yang saya minum hari ini berlisensi dari Starbucks. Harga yang sebanding dengan rasa dan aroma. Aroma kopi ini wangi dan rumahan banget. Dan ampasnya. Meskipun sudah jadi ampas, ampasnya pun masih punya aroma yang sedap. Tercium ketika aku mendekatkan mug putih bulatku untuk kuminum isinya tapi ternyata sudah habis dan hanya ada ampas itu. Berbeda dari kopi lain, ampasnya bahkan masih menyisakan wangi yang bisa memberi kesenangan kecil.
Kamu seperti ampas kopiku malam ini. Kata temanku dan memang harus ku akui, kamu punya gen yang bagus. Sebuah gen super yang jarang ku temui dengan pongahnya mengalir dalam dirimu. Kamu tidak semenggairahkan dan semenyenangkan kopi hangatku malam ini, minimal, sebagai ampas kopi yang telah kuminum habis, kamu ampas kopi yang branded. Biar kamu tidak indah-indah betul, masih ada sesuatu yang bisa dibanggakan dalam dirimu. Brand.

Brand, sebuah titel yang bisa membuat dua hal yang sama menjadi berbeda. Dalam hal ini, kopi dan manusia.

Ketika Mereka Jatuh Cinta

Manusia memang menyebalkan. Egonya tidak pernah puas. Bahkan, kalau manusia peminum air laut, dia tidak akan puas meminum air dari semua samudra di bumi. Bosan dengan air, mungkin dia akan mencoba meminum lelehan es di kutub untuk memuaskan dahaganya.

Bukankah kita sama?
Saya si egois yang tidak mau tahu dan kamu si egois yang menjaga benar harga dirimu. Ketika mereka yang egois saling jatuh cinta, mereka enggan mendekat namun minta ampun ingin dekat. Salah satu tidak mau harga dirinya runtuh dengan pendekatan yang paling tidak romantis, yang satu tidak ingin yang lain tahu apa yang dirasakannya karena tak mau harga dirinya juga runtuh. Saling menutupi, saling menjaga jarak, padahal ingin dekat. Lalu, apa yang tercipta dari reaksi dua makhluk ego yang malu-malu itu? Hanya mencuri-curi tatapan, kemudian pura-pura acuh. Hanya berdiam, padahal ingin bicara panjang. Jadi seperti itulah mereka dan kisahnya jika salah satu tidak belajar bagaimana caranya sedikit melemahkan kebuasan ego. Dingin tapi konyol, karena ego mereka saling berikatan seperti tali, memperpanjang jarak satu sama lain.

Egoisme bukanlah sebuah hal yang luar biasa.
Setiap orang mempunyai ego. Secara alami, manusia tercipta untuk menuruti ego masing-masing tapi, hanya sebagian yang tercipta untuk mengendalikannya, dan hanya beberapa yang berhasil memenangkan pertikaian melawan ego.

Dia Tidak Bisa Tidur

Aku menggeliat di bawah selimutku yang hangat. Samar, kudengar nyanyian hujan di luar. Wangi hujan yang saling memeluk dengan udara menari di hidungku. Aku terjaga.

Sudah pagi ternyata. Tapi, langit masih gelap padahal dulu ia benderang dengan cercah-cercah matahari yang rewel tidak ingin dibangunkan sepagi ini. Rupanya, matahari benar-benar rewel tak ingin bangun sampai ia tidur lagi dan sinarnya redup pagi ini. Awan abu-abu menyelimutinya yang tidur lagi, membuat sinarnya terhalang dan mendung langit pagiku.

Aku berusaha mengingat mimpiku semalam sementara matahari tak bangun-bangun dari tidurnya. Wangi hujan berbisik dekat hidungku, mengingatkanku apa yang ada dalam mimpiku semalam. Ternyata kamu. Ada apa datang ke mimpiku semalam? Apa kamu bosan tidak bicara denganku jadi kamu memutuskan datang ke mimpiku?
Tapi, aku ragu kamu benar-benar ingin bicara denganku, sekedar membahas hujan di bulan Juni misalnya. Barangkali saja, sesuatu memaksa jiwamu datang ke mimpiku padahal ragamu terbaring di ranjangmu sendiri, tak bisa tidur. Sementara ragamu gelisah tak bisa tidur, jiwamu malah memainkan sebuah drama dalam mimpiku dan mengusik ketenangannya dengan drama malam harimu.

Mereka bilang, jika seseorang bemimpi tentang seseorang yang lain itu berarti orang lain itu sedang merindukannya. Jiwaku menertawakan kata-kata mereka. Mana mungkin? Bukannya selama ini aku yang rindu bicara panjang lebar dan mendengar suara menyebalkanmu?

Aku bergegas bangun. Drama malam harimu membuatku ingin menyapamu pagi ini. 

samedi 15 juin 2013

when a dream ends, another one just begins.

That's what I am feeling right now.
Well...
Setelah selesai UKK, I feel (as usual) under pressure and stressed and tired. Typical syndrome pasca UKK. You know, I had to do task, remedial test, and another thing... So, there is no logical reason to leave school after the UKK before you clarify that you have no remedial which is impossible *laughs*
Okay, stop with complaining thingy, jadi malam ini ada yang berubah.

Dari kecil, kita pasti selalu punya mimpi. Apa itu mimpi? Simpelnya, sesuatu yang kamu inginkan. Tapi, toh, sesuatu yang kita inginkan itu belum tentu bener-bener cocok untuk kita. Bermimpi itu boleh, harus banget malah, cuma kadang kita juga harus memahami situasi. Seperti yang aku alami.
I wanted to be a doctor, obstetrician actually. Sebuah profesi yang benar-benar sangat mulia. Sudah dokter, dokter kandungan pula. Kan jarang ada perempuan yang menekuni spesialis kandungan.
Tapi, kemudian lama-lama aku mikir.
Pendidikan dokter itu lama, sekitar 5-6 tahun. Ditambah spesialis 2-3 tahun. Mungkin 8 atau 9 tahun lagi baru bisa kerja. Dengan pendidikan selama itu, pasti biaya yang dikeluarin juga nggak sedikit. Meskipun aku datang dari keluarga yang cukup berada tapi aku juga nggak mau nyusahin orangtua. Terus, setelah pendidikan selama itu, belum ada jaminan kamu akan sukses kecuali kalo kerjanya di tempat yang emang enak. Memang sih sukses nggak bisa dengan shortcut, you must work hard for it but there is no guarantee if you will be succeed dengan banyaknya dokter di Indonesia sekarang.
Ini agak kontra dengan apa yang aku inginkan sebenernya. Aku pengen kuliah cepet selesai, cepet kerja, terus cepet nyenengin orangtua dengan hasil kerjaku.

Kemudian, aku ingat-ingat diriku pas pelajaran biologi. Ini adalah refleksi paling gampang karena kedokteran itu didominasi oleh hal-hal semacam anatomi.
Aku bisa cuman aku nggak yakin apa aku bisa baca buku-buku kedokteran yang tebel-tebel itu. Bukan bisa nggaknya sih tapi apa rajin atau enggaknya. Aku orangnya cepet bosen, kalo udah bosen, agak susah balikin interestnya kayak awal. Apalagi kedokteran itu jam kuliahnya panjang.

Aku mutusin nurutin tawaran papaku untuk give up at the first dream. Dad is right, Tuhan baru saja menunjukkan jalanNya padaku bahwa mimpiku bukan yang terbaik buat aku. Melalui papa, Tuhan menunjukkan semua itu. Subhanallah.
It isn't that hard kok untuk move on dari mimpi ini mungkin karena aku sudah lebih dulu bisa memahami situasiku sendiri.
But, Dad also offered me another options yang menurutku nggak kalah prestisius. Setiap papa kasih penawaran, I always ask, "gajinya gimana, Pa?" "aku nggak suka yang kerjanya bosenin" "kerjanya pulang malem terus nggak?" gitu-gitu deh. Hahaha. Nggak munafik deh, bukannya aku materialistis, but we need honey money to live, meskipun itu bukan the main factor of our happiness. Jelas bukan. Tapi, uang itu bisa dipake untuk melakukan hal-hal baik, misalnya, umrah bareng keluarga, ngajak jalan keluarga. Nggaknya seneng kalo bisa nyenengin orang-orang yang membesarkan kamu dengan hasil kerja dan peras keringatmu sendiri? Seneng bangetlah.
Aku sudah buat keputusan dan papa dan mama nyuruh aku banyak browsing soal apa yang mereka bilang tadi pas dinner dan mulai sekarang, harus mulai siap-siap.

Don't worry.
You have to know your self and your situation because not all of your dreams are the best for you. Don't force your dream if it doesn't suit your situation.
You know, when a dream ends, another better one just begins. Find it.

Cheers,
Tachu

mercredi 5 juin 2013

maandag's bitterzoete suiker

Hey, there.
How's life? Simply flat, well, it wasn't that flat like a straight line. I still had the ups and downs. Ada bahagia, ada sedihnya juga seperti sebuah kesetimbangan dalam cuka yang jadi teman makan pempek Palembang. Bayangkan pempek itu hidup dan cuka yang rasanya kecut-kecut itu jadi pelengkap; karena pempek tanpa cuka juga rasanya hambar kurang sedap tapi kalo kebanyakan juga nggak enak parah.


so let me tell you this. maandag bitterzoete suiker

Seseorang mungkin telah menjadi "sesuatu yang terlewatkan". Sesuatu yang kamu sadari kehadirannya tapi kesadaranmu tentang eksistensinya nggak cukup membuatmu benar-benar sadar bahwa sesuatu itu yang sudah membuatmu senang. Kamu terlalu fokus pada apa yang kamu cintai padahal apa yang kamu cintai itulah yang justru membuatmu mendung.
Dan kamu melewatkan sesuatu yang membahagiakanmu, sesuatu yang tadinya ada di sekitarmu, jangkauanmu, zonamu.
Mungkin aku sudah melewatkanmu, mungkin juga aku masih bisa mengejar ketertinggalanku dengan membeli tiket secepatnya menujumu.

Aku nggak ingin aku menjadi sesuatu-yang-terlewatkan untukmu. Karena rasanya menyedihkan; kamu nggak bisa memilih periode waktu mana yang ingin kamu perlama durasinya dan kamu putar ulang. Itulah hidup. Kamu belajar menghargai setiap detik yang kamu lewati karena suatu saat, beberapa detik bahkan bisa menjadi ingatan paling menyenangkan.
Aku nggak ingin kamu melewatkan apapun karena aku nggak ingin kamu ngerasain sedihnya ngelewatin sesuatu yang ternyata berharga. 

Seperti apa yang kamu lakuin pada sebuah Senin.

Nggak, nggak ada yang salah dengan hari Senin.
Aku juga nggak benci hari Senin seperti kebanyakan orang. Justru, Senin itu adalah sebuah awal. Aku nggak mungkin membenci sebuah awal menuju part baru dalam waktuku.
Kamu lagi jalan. Ekspresi datar. Tangan di saku.
Aku hapal gayamu padahal belum lama.
Aku sudah melihatmu dari kejauhan sementara aku berjalan dari arah berlawanan. Kamu pasti juga melihatku dari kejauhan, ya kan? Ragaku tidak menyambutmu tapi ada sesuatu dalam diriku yang ingin melakukan sesuatu barangkali sesederhana kata hai.
Jarakmu dariku sudah begitu pendek dan dekat tapi, nggak ada yang bilang apa-apa. And, you quickly turned your head away like an eagle.

Aku jadi meragukan eksistensiku sebagai teman atau bahkan kenalan.
Sepertinya eksistensiku nggak sepenting itu lagi entah sejak kapan.
Tapi, ketika aku tanya teman baikku yang juga ada di dekatmu beberapa menit setelah itu, kamu menoleh ke arahku, mungkin tepat ke arah wajahku.
Aku bisa merasakan itu.

Kamu tidak mengatakan apapun. Tapi, rasanya yang sesederhana itu bisa membuatku bertanya-tanya tentang eksistensi diriku sendiri bagimu. Ternyata aku begitu egois, aku mempertanyakan eksistensi diriku dan menganggap diriku benar-benar penting untuk setidaknya ada dalam sekelebatan pikiran di kepalamu.

Aku nggak ngerti apa maksudmu.
Aku juga nggak bisa menebakmu.
Kamu terlalu dingin, terlalu angkuh, dan terlalu ego barangkali.
Sebagai sesama orang egois, aku bisa ngerti kalau pride ada di atas apapun. Pride.

Aku nggak bisa menebak dan nggak tahu caranya untuk menebak karena aku nggak ingin tebakanku salah. Akhirnya aku cuma diam-karena scrolling up and down timeline untuk me-retweet quote-quote galau nggak akan membuatku ngerti apa maksudmu- dan berpikir buruk bahwa aku sudah nggak kamu anggap (bahkan) sebagai teman. Lalu, aku mendoktrin diriku sendiri bahwa kamu nggak cukup pantas untukku.








Sayangnya, meskipun aku sudah mendoktrin diriku dengan pikiran semacam itu,  ada sebagian kecil dari  diriku yang berkata bahwa se-kurang pantas apapun kamu, sebenarnya aku masih menginginkanmu.

samedi 1 juin 2013

It Depends On The Way You See Something

This is gonna be the last post before UKK. Ini sudah Day Minus 2.
Day Minus 2

Sengaja ditulis lagi biar lebih menegangkan.

Ngomong-ngomong, rasanya nggak lengkap ngomongin soal persiapan UKK tanpa mencantumkan kutipan pembicaraan saya dan Jehan @jhnayw. Dia seorang teman baik yang sama-sama suka gambar dan gambarnya bagus.
Kemarin malam, aku scrolling timeline twitter dan menemukan beberapa teman yang sibuk mempersiapkan dirinya buat UKK. Ini hanya mempan ngejleb di pikiran aja tapi nggak bikin aku tergerak untuk ngelakuin hal yang sama. Lalu, Je ngechat.
Topik bahasan kami malem itu sebenernya mungkin cuma kayak complains. Humans are the best complainers. Sama sekali nggak ada atmosfer gupuh yang bikin aku tergerak melakukan sesuatu yang ada hubungannya dengan UKK. So, we started talking about those teachers, those subjects, and what to study about History.
Khusus pelajaran satu itu, kamu cukup menghayati saja. Jangan dihapal.
Hapalan dan sejarah adalah kombinasi yang saling menghancurkan karena pada dasarnya sejarah ada bukan untuk dihapal macam Kimia Fisika atau Biologi.
Sejarah ada hubungannya dengan ingatan. Peristiwa-peristiwa yang terjadi dulu sekali itu ditulis dan dicetak massal dalam buku-buku pelajaran, singkatnya, peristiwa-peristiwa itu dikekalkan untuk diketahui generasi yang akan datang.
Sejarah itu untuk diingat, bukan dihapal.
Baca aja sejarah itu lalu ingat-ingatlah, tapi sebelum itu kamu harus ngerti dulu baru bisa mengingat kronologi sejarah itu dengan baik.

And, this is the First Day of June. The Joyful June.
My #JuneWish adalah semoga Allah SWT melancarkan UKK saya, semoga Allah SWT memberi saya bantuan, petunjuk, ridha, dan kemudahan dalam menjalani dan belajar untuk UKK, dan semoga saya bisa mendapatkan nilai minimal 88 untuk semua pelajaran. Aamiin.

Today, Mom and I went to department store.
Lagi ada sale dan itu menyenangkan. Women like sale and discount.
Mom bought me few pieces of t-shirts. Semua t-shirtku di rumah didominasi lengan pendek dan berwarna hitam. Dulu, kayaknya saya mantan rocker yang sekarang tobat.
Ada satu t-shirt yang Mama beliin warna merah. Ukurannya M. Biasanya aku pake large sih tapi kalo t-shirtnya Giordano ukuran s aja sudah muat.
Mungkin karena baru dibeli jadi kaos itu masih agak-agak sempit karena ukurannya m. Aku bete juga karena aku nggak suka pake baju yang terlalu ngepas badan, gimana ya nggak nyaman aja. Meskipun bete banget karena t-shirtnya ternyata nggak kayak yang aku inginkan, aku berusaha nggak mikirin lagi.
Beberapa jam kemudian, setelah acara dinner, aku balik lagi ngehampirin kaos merah tadi dan aku coba. Begitu aku liat di kaca, ternyata nggak seburuk tadi kok. Mungkin tadi aku lagi badmood aja jadinya apa-apa yang sedikit nggak sejalan dengan keinginanku terlihat kayak sebuah bencana.
Aku tarik-tarik sedikit sampe agak melar dan nggak terlalu ngepas. Yah, lumayan deh. Lagian kaos ini juga bagus kok.
Nilai moralnya adalah, semua permasalahan, besar atau kecil, bisa diselesaikan tergantung dari caramu melihat permasalahan itu kayak gimana. Pada awalnya emang kamu bakalan kalap dan berpikir bahwa pasti nggak ada jalan keluar. Coba tenangin dirimu beberapa saat abis itu coba kamu dalami lagi permasalahannya. Pasti ada jalan keluarnya.
Tapi, kalo kamu ingin menemukan jalan keluar, jangan memakai cara berpikir yang sama saat kamu menciptakan masalah itu. Pakailah cara berpikir yang lebih positif untuk menyelesaikannya.

Cheers :)