How's life? Simply flat, well, it wasn't that flat like a straight line. I still had the ups and downs. Ada bahagia, ada sedihnya juga seperti sebuah kesetimbangan dalam cuka yang jadi teman makan pempek Palembang. Bayangkan pempek itu hidup dan cuka yang rasanya kecut-kecut itu jadi pelengkap; karena pempek tanpa cuka juga rasanya hambar kurang sedap tapi kalo kebanyakan juga nggak enak parah.
so let me tell you this. maandag bitterzoete suiker
Seseorang mungkin telah menjadi "sesuatu yang terlewatkan". Sesuatu yang kamu sadari kehadirannya tapi kesadaranmu tentang eksistensinya nggak cukup membuatmu benar-benar sadar bahwa sesuatu itu yang sudah membuatmu senang. Kamu terlalu fokus pada apa yang kamu cintai padahal apa yang kamu cintai itulah yang justru membuatmu mendung.
Dan kamu melewatkan sesuatu yang membahagiakanmu, sesuatu yang tadinya ada di sekitarmu, jangkauanmu, zonamu.
Mungkin aku sudah melewatkanmu, mungkin juga aku masih bisa mengejar ketertinggalanku dengan membeli tiket secepatnya menujumu.
Aku nggak ingin aku menjadi sesuatu-yang-terlewatkan untukmu. Karena rasanya menyedihkan; kamu nggak bisa memilih periode waktu mana yang ingin kamu perlama durasinya dan kamu putar ulang. Itulah hidup. Kamu belajar menghargai setiap detik yang kamu lewati karena suatu saat, beberapa detik bahkan bisa menjadi ingatan paling menyenangkan.
Aku nggak ingin kamu melewatkan apapun karena aku nggak ingin kamu ngerasain sedihnya ngelewatin sesuatu yang ternyata berharga.
Seperti apa yang kamu lakuin pada sebuah Senin.
Nggak, nggak ada yang salah dengan hari Senin.
Aku juga nggak benci hari Senin seperti kebanyakan orang. Justru, Senin itu adalah sebuah awal. Aku nggak mungkin membenci sebuah awal menuju part baru dalam waktuku.
Kamu lagi jalan. Ekspresi datar. Tangan di saku.
Aku hapal gayamu padahal belum lama.
Aku sudah melihatmu dari kejauhan sementara aku berjalan dari arah berlawanan. Kamu pasti juga melihatku dari kejauhan, ya kan? Ragaku tidak menyambutmu tapi ada sesuatu dalam diriku yang ingin melakukan sesuatu barangkali sesederhana kata hai.
Jarakmu dariku sudah begitu pendek dan dekat tapi, nggak ada yang bilang apa-apa. And, you quickly turned your head away like an eagle.
Aku jadi meragukan eksistensiku sebagai teman atau bahkan kenalan.
Sepertinya eksistensiku nggak sepenting itu lagi entah sejak kapan.
Tapi, ketika aku tanya teman baikku yang juga ada di dekatmu beberapa menit setelah itu, kamu menoleh ke arahku, mungkin tepat ke arah wajahku.
Aku bisa merasakan itu.
Kamu tidak mengatakan apapun. Tapi, rasanya yang sesederhana itu bisa membuatku bertanya-tanya tentang eksistensi diriku sendiri bagimu. Ternyata aku begitu egois, aku mempertanyakan eksistensi diriku dan menganggap diriku benar-benar penting untuk setidaknya ada dalam sekelebatan pikiran di kepalamu.
Aku nggak ngerti apa maksudmu.
Aku juga nggak bisa menebakmu.
Kamu terlalu dingin, terlalu angkuh, dan terlalu ego barangkali.
Sebagai sesama orang egois, aku bisa ngerti kalau pride ada di atas apapun. Pride.
Aku nggak bisa menebak dan nggak tahu caranya untuk menebak karena aku nggak ingin tebakanku salah. Akhirnya aku cuma diam-karena scrolling up and down timeline untuk me-retweet quote-quote galau nggak akan membuatku ngerti apa maksudmu- dan berpikir buruk bahwa aku sudah nggak kamu anggap (bahkan) sebagai teman. Lalu, aku mendoktrin diriku sendiri bahwa kamu nggak cukup pantas untukku.
Sayangnya, meskipun aku sudah mendoktrin diriku dengan pikiran semacam itu, ada sebagian kecil dari diriku yang berkata bahwa se-kurang pantas apapun kamu, sebenarnya aku masih menginginkanmu.
Aucun commentaire:
Enregistrer un commentaire