"Jadi, kamu percaya astrologi?"
Aku tertawa. Kedengarannya tawaku begitu sarkastis sampai menohok harga diri sang penanya. Kelihatannya ia dongkol ditertawakan begitu.
"Kamu ingin jawabanku?" aku balik bertanya, memastikan apa ia benar-benar serius dengan pertanyaannya yang lugu.
"Apa aku kelihatannya sedang bercanda?" dia balik bertanya lagi.
Dia kelihatan benar-benar kesal meskipun aku yakin dia tidak butuh jawabanku. Keingintahuannya terhadapku membuatku berbelas kasihan dan memikirkan jawaban semacam apa yang dapat memuaskan keingintahuannya yang tidak penting itu.
Hening sejenak saat aku berpikir. Dengan sabar, dia duduk sambil mengaduk-aduk tehnya perlahan, menambahkan sedikit gula, lalu mengaduknya lagi.
"Kamu pikir, kenapa manusia punya dua mata?" tanyaku, berusaha memancing keingintahuannya.
"Untuk melihat lah," dia menjawab dengan malas.
"Benar. Apakah kedua mata itu bisa melihat ke dua arah?" tanyaku lagi.
"Kalau mata kananmu di atas dan mata kirmu di bawah berarti kamu juling!" katanya mulai hilang sabar lagi.
"Tidak salah," aku tersenyum. Dia menatapku dengan malas.
Kemudian, kami berdua diam. Dia bertopang dagu sambil menyentuh gagang cangkir tehnya. Mungkin kalau sabarnya sudah benar-benar habis, cangkir itu bisa melayang padaku kemudian aku tidak usah repot-repot facial karena wajahku akan dihiasi teh hangat yang manis.
"Apa mata manusia bisa melihat ke kanan dan ke kiri?" tanyaku lagi.
"Tentu saja!" sergahnya.
"Begitulah mata manusia," kataku. "Mata manusia hanya bisa melihat ke dua arah. Setiap manusia di dunia ini seperti sedang berjalan di jalan yang selurus jalan tol. Mereka hanya bisa melihat di kilometer berapa mereka melaju saat ini dan menoleh ke belakang dan melihat kilometer berapa saja yang sudah mereka lalui."
Aku memandang hujan yang membasahi jendela kaca sementara, dia sudah terlihat antusias menunggu jawaban yang akan ku utarakan.
"... Manusia tidak bisa melihat dengan jelas kilometer di depannya. Dia tidak akan tahu ada apa dan bagaimana kilometer di depannya. Manusia hanya bisa melihat saat ini dan masa lalu. Kanan dan kirinya adalah ilusi yang seperti kabut dalam udara," aku berhenti sejenak.
"Lalu?"
"Lalu, manusia yang bodoh akan mengira-ngira seperti apa keadaan kilometer di depannya. Dia pikir disana jalannya mulus jadi dia menambah kecepatan, tidak tahunya begitu dia sampai ternyata ada kubangan air. Apa menurutmu perkiraan manusia itu benar?"
"Tidak."
"Dan begitu juga dengan ramalan," pungkasku.
"Jadi, apa kamu percaya ramalan?" dia mengulang pertanyaannya lagi.
"Kamu sudah tahu jawabannya. Aku sudah memberikannya," jawabku sambil meneguk tetes kopi hangat terakhirku.
Aucun commentaire:
Enregistrer un commentaire