Aku makhluk yang punya perasaan. Tapi, apakah aku manusia yang punya perasaan?
Aku memang makhluk yang mempunyai rasa, bisa merasakan, bahkan menyembunyikan rasa. Tapi, apakah aku dengan segala kemampuanku terhadap rasa bisa disebut sebagai manusia?
Aku tidak merasa diriku manusia. Sepertinya, raut-raut wajah mereka seolah meneriakkan kata ‘kenapa’ dengan lantang.
Mereka mendengarku bertanya, barangkali sudah jengah mendengarku terus bertanya pada udara, lalu kemudian mereka menjawabku. "Kamu itu manusia!"
Benarkah aku sudah cukup manusia sebagai manusia? Aku tidak langsung mempercayai apa kata mereka yang merasa dirinya sudah cukup manusia. Jawaban mereka tidak memuaskan nafsuku tentang pertanyaan ini. Jadi, aku bertanya pada mereka yang tidak mengaku dirinya manusia.
Tidak, tidak ada yang menjawab lagi. Tentu saja. Aku cuma mengerti bahasa para manusia. Angin, awan, pohon, bahkan ikan memiliki bahasa mereka sendiri yang begitu awam untukku. Tapi, memahami bahasa manusia masih tidak membuatku merasa diriku cukup manusiawi untuk disebut manusia. Aku diam. Aku memikirkan jawaban apa yang bisa ku berikan untuk diriku. Aku mengingat segala tingkahku dan caraku berpikir. Aku terus berpikir apa jawabannya.
Aku tidak merasa diriku manusia karena manusia selayaknya bisa mengendalikan dirinya sendiri. Manusia seharusnya bisa mengendalikan perasaannya. Tapi, aku tidak merasa diriku ini manusia karena aku tidak dapat mengendalikan perasaanku untukmu. Mungkin dengan membuat perasaan ini seolah-olah tidak pernah ada, dengan mengacuhkan perasaan, aku bisa memanusiakan diriku. Aku hanya ingin menjadi manusia.
Meskipun itu berarti mengendalikan perasaanku untukmu. Mengendalikannya untuk lenyap.
Aucun commentaire:
Enregistrer un commentaire