Perempuan itu meneguk kopinya sedikit demi sedikit. Aku memperhatikan wajahnya ketika tatapan tajam mata itu tak memperhatikanku, ketika ia benar-benar larut dalam kopi hitam pahit kesukaannya. Ia terlihat tenang, tetapi ketenangan permukaannya membuatku ingin meraba lebih jauh apa yang ada di dalam sana.
Tetapi, dia begitu bebas. Dia memiliki semua yang dia mau dan dia melakukan apa yang dia inginkan. Dia berbeda dariku dalam kebanyakan hal, termasuk tentang cara pikirnya dan gaya hidupnya. Dia adalah rupa sempurna seorang perempuan masa kini. Dia yang tidak peduli dan aku yang diam-diam jatuh hati pada perempuan di hadapanku ini.
"Kau begitu suka kopi, ya?" tanyaku begitu ia meletakkan kembali cangkir putih pada piringnya.
"Ya," jawabnya. "Aku sudah kecanduan."
"Katanya, kopi tidak baik untuk perempuan," kataku lagi.
Aku sama sekali tak tahu apa-apa tentang kopi dan alih-alih berusaha sok tahu lalu berujung malu, aku hanya bisa mengatakan fakta penelitian tentang hubungan kopi dengan perempuan yang tidak sehat.
"Lalu, apa kau pikir aku akan berhenti menyukai dan mencandu kopi jika seluruh dunia menghakimi betapa buruknya kopi untukku?" ia balik bertanya.
Aku tahu apa artinya itu.
Kemudian ia bercerita bagaimana perjalanan rasa candunya kepada kopi, bagaimana semua orang menentang itu, dan bagaimana ia, karena penyakitnya, terpaksa mengurangi eksistensi kopi dalam hidupnya. Begitu ia mengkhatamkan bagian tentang kopi dalam perjumpaan ini, aku segera melempar komentarku untuknya.
"Pada akhirnya, kau mengurangi kopi. Berarti, kau lebih mencintai dirimu sendiri, ketimbang kopi yang menjadi kecanduanmu itu."
Dia tersenyum sinis. "Kau salah. Aku mengurangi kopi, supaya aku bisa lebih lama menikmati kopi dalam hidup ini."
Kopi baginya adalah sebuah candu, sebagaimana mencintainya adalah canduku. Aku tak mau menaruh harap, tetapi terus dekat dengannya seperti menumpahkan secangkir kopi di atas kain dari katun, kian lama kian meresap. Pertanyaannya adalah apakah ia pernah dengan sengaja memberiku harapan? Ia bahkan tak pernah sengaja menyentuh cangkir kopi itu, tetapi justru aku yang terus berusaha menumpahkan seluruh isinya yang sepekat jelaga.
Aku diam-diam mencandu dan ia adalah canduku. Aku tidak mau, sekali saja tak mau, mengurangi dosis eksistensinya dalam hidupku. Ironisnya aku pun tak ingin dengan sengaja membuat ia tahu tentang kecanduanku itu. Aku seolah lebih memilih untuk memelihara rasa, seperti memelihara tanaman kopi. Kelak jika tanaman itu telah dewasa akan kupanen buahnya, lalu kuolah bijinya sedemikian rupa. Kemudian akan ku berikan ia secangkir kopi racikanku. Biar aku jadi barista untuk biji-biji rasa yang diam-diam tumbuh karenanya dan biar ia juga yang merasakan seperti apa itu cinta. Dan tentu saja, rasa cinta itu seperti secangkir kopinya jika ditambah dengan dua bungkus gula. Lalu, aku akan berdoa semoga pada saat itu, aku ada di hadapannya dan sedang tersenyum menahan bahagia melihatnya larut dalam nikmat secangkir kopi itu.
Aku diam sesaat, memikirkan hal apa yang bisa kukatakan demi menjaga percakapan ini tetap mengudara setelah hanyut dalam pikiran-pikiran tadi.
"Apa kau pernah berpikir untuk menghilangkan candumu?"
"Jika kau jatuh cinta padaku dan aku membuatmu bahagia, apakah kau pernah berpikir untuk berhenti mencintaiku?" dia bertanya.