vendredi 25 décembre 2015

Mengenai Selamat Pagi

Selamat pagi adalah sepatah dua pasang kata sapaan khas pagi, atau bisa jadi basa-basi untuk sesiapa saja. Mulai dari kolega berkepentingan sampai pada mereka yang tengah jatuh cinta. Yang diucapkan demi tata krama, ataupun sebab tak ada lagi hal lumrah yang dapat diucapkan waktu pagi pada kekasih di ujung sana.
Tetapi, bagiku, mengucap selamat pagi ialah satu dari sekian cara untuk menjadi bagian dari hari orang lain.
Pernah tidak kau bayangkan jika ia menerima selamat pagimu sebangunnya ia dari lelap panjangnya semalaman dan memang itulah yang ia tunggu dari sebuah pagi?
Pernah tidak kau bayangkan jika ia menerima selamat pagimu beberapa saat ketika ia sampai di tempatnya berkesibukan, pada hari dimana ia mulai lelah dengan penat dan rutinitasnya, lalu seketika tersenyum mendapatkan selamat pagi dari-mu, sehingga ia akhirnya bersemangat dalam melakoni giat apapun hari itu.
Sepatah dua kata sapaan khas pagi ini memang ringan dalam pengucapan, pun ringan dalam pengartian harfiahnya, tetapi inilah caraku merayakan pagi hari, dengan mengupayakan diri menjadi bagian dari harimu.
dan, kamu adalah selamat pagi yang ku alamatkan dengan malu-malu,
di antara tegukan-tegukan mesraku bersama secangkir kopi waktu pagi.

samedi 19 décembre 2015

setumpuk penat di meja kerja

Selamat pagi, kamu.
Kemarin malam - seperti biasa - kau mengucapkan selamat malam selepas pulang megawai.

Aku membayangkan tatapan mata datar dipenuhi hasrat ingin merebahkan raga,
serta sekerumunan penat yang bersarang dalam kepala.

Aku cuma ingin menjadi bagian dari harimu,
bersyukur-syukurlah aku apabila upaya yang kuusahakan
berhasil menjadi sebentuk penghiburanmu
di penghujung hari yang panjang dan melelahkan.

Aku ingin kau tahu,
aku tetap duduk manis dalam ruang tunggu yang kau bangun untukku dan kutinggali dengan sukarela lagi sukacita
Belasan jam aku menunggumu dalam sewujud pesan singkat,
namun tidak ku biarkan setengah jam-pun kau menunggu,
tidak akan pula ku beri sekedar jawaban singkat,
sebab telah kau habiskan berbulan-bulan menungguku.

Pada gilirannya,
mulai minggu depan aku pun akan tenggelam dalam rutinitas yang berbeda.
Kita akan sama-sama megawai,
dan keseharianku tak lagi sekedar tentang menunggu pesanmu,
atau mencari kesibukan sambil menunggu pesanmu.
Tetapi, Kapten yang menaklukkan samudra dengan banana boat,
kamu harus tahu,
bahwa setelah seharian berjibaku dengan setumpuk penat di meja kerja,
aku akan tetap mencari namamu.
Aku akan tetap menunggu datangnya selamat pagi dan selamat malam-mu.
Sebab kamu,
bahagiaku.




vendredi 16 octobre 2015

berkeliling di perkotaan tanpa tujuan

Pada suatu petang di kota perantauan.
Malam-malam kita pergi berduaan tanpa menentukan tujuan atau suatu rencana di kepala. Kita hanya mengikuti alur jalan raya yang membentang. Padahal tak satupun dari kita tahu kemana jalanan itu berujung nantinya. Lalu lalang kendaraan berpapasan dan kita yang larut dalam percakapan yang sama-sama tak bertujuan. Asal saja aku memberi usul arah seolah bagiku tanah ini bukanlah antah berantah. Ditambah lagi hawa dingin dan angin semilir, meskipun dalam dada ada perasaan berdesir. Entah bagaimana aku senang menghabiskan waktu denganmu, sekalipun dengan cara paling tidak biasa seperti pergi malam-malam berkeliling perkotaan tanpa tujuan. Lucunya kau dan aku bisa terlibat percakapan-percakapan mengenai apapun sekalipun kita sesungguhnya resah tidak kunjung menemukan kedai untuk duduk berduaan.
Selama beberapa puluh menit berkeliling, terbawa arus jalanan, dan tersasar ke tempat yang asing, kita putuskan berhenti di kedai yang menjajakan roti lapis. Duduk berdua kita di kursi-kursi bar tinggi menghadap lalu lalang jalan raya, sembari mengomentari ini itu isi majalah atau tabloid. Terkadang kita bicara soal hal-hal mengenai masa depan atau tentang rahasia-rahasia berdua. Aku larut dalam suasana, tidak memedulikan dunia sekitaran, apalagi malam yang sudah di ambang larutnya. Kau tahu, seandainya seisi dunia tidak akan nyinyir padaku, kita akan tetap duduk disitu sampai benar-benar jenuh. Bagiku, kencan tidak mesti harus dengan prosedur yang distandarisasi sedemikian rupa atau di tempat-tempat yang paling diminati di kota. Kita bisa pergi kemana saja, bahkan sesederhana ngopi di kedai pinggir jalanan raya. Semuanya tetap asyik, karena bukan tempat yang kunikmati, tetapi waktu yang ku habiskan denganmu.
aku selalu ingin bangun lebih pagi darimu,
supaya pada akhirnya aku duluanlah yang mengucap selamat pagi.
tapi, apa dayaku, kekasihku
jika bangunku selalu jelang siang,
sebab pada larut malam aku terjaga
demi merangkai sajak-sajak untukmu.

penculikan anak perempuan

Culiklah aku barang sehari,
tapi jangan sampai rumput-rumput di halamanku tahu.
Bayangkan betapa marah ayahku,
jika gadisnya kau bawa pergi.

Gundah sekali aku, kekasih
sebab demi perjumpaan kita aku mesti mengendap menyelinap
belum lagi mengenakan kepura-puraan.

Namun dalam jumpa kita
selama jam-jam yang hanya beberapa,
dan terasa seperti suatu pelarian,
aku menemukan kesenangan.
tidak apa-apa, kekasihku.
jika kamu menyeberangi jarak perkotaan untukku,
aku akan meretas halang rintang demi menujumu.

culiklah aku, kekasihku
bawa aku pergi berkeliling kota bersamamu.
tetapi betapapun asyiknya drama penculikan
atau bermain sembunyi-sembunyian,
pada saatnya kita pun harus terang-terangan
serta menaklukkan hati Nyonya dan Tuan.

maka dari itu,
suatu hari kamu harus bertandang ke rumahku,
temui ayahku, kemudian ajaklah bicara,
tentang cantiknya bunga di halamannya,
merdunya kicau beburungan di terasnya;
serta betapa cinta kau pada anak perempuannya.


vendredi 24 juillet 2015

Kamu tahu aku sedang apa?

Kamu tahu aku sedang apa?
Aku tahu kamu bisa menebaknya. Benar, aku membaca Norwegian Wood beberapa menit lalu sebelum memutuskan untuk berhenti, karena tiba-tiba menyeruak tanda tanya tentang apa yang kau lakukan jauh, jauh disana. Aku tak melakukan apa-apa ketika kamu mendaki. Cuma membaca novel itu, mendengarkan musik, pergi berjalan-jalan. Hanya itu-itu saja dan sama sekali tidak mengesankan. Satu-satunya kegiatan yang membuatku antusias dalah janji dengan sahabatku pukul empat sore nanti.

Apa kamu masih terus mendaki gunung? Atau, kamu sedang beristirahat? Atau, apakah kamu sudah sampai di puncak gunung dan sedang mengabadikan peristiwa-peristiwa membahagiakan di atas sana?

Sudah puluhan jam dan aku masih akan menghitung beberapa jam lagi. Aku mengeluh betapa aku terus menulis sajak, prosa, apapun tentang rindu. Norak sekali. Kamu pun akan menjadikanku bahan bercandaan karena ini. Aku bosan bertanya apa kamu juga diam-diam merindu. Aku lebih ingin dengar cerita-ceritamu saat mendaki. Aku ingin dengar hal-hal konyol apa saja yang kau alami, kemudian kita akan menertawakannya bersama. Kemudian kita akan berbicara panjang lebar lagi tentang apa saja. Tidak hanya sekedar percakapan-percakapan, aku juga ingin dengar suaramu, sayang. Aku ingin dengar suara yang wujud rekamannya kuputar ulang ketika rindu menggelitikiku.

membicarakan rindu

"Aku bingung. Sebenarnya, rindu itu perasaan seperti apa? Sampai mana batas perasaan itu? Bias, batanya sangat bias," kataku selagi ia memainkan ujung-ujung jemari kaki merah marunnya.

Aku memandangi jari jemari kakinya dengan hampa selagi memikirkan pertanyaanku tadi. Setiap orang dengan mudah berujar mereka sedang merindu dan aku bertanya-tanya bagaimana mereka tahu sebetulnya mereka sedang benar-benar merasakan rindu. Atau, apakah kata itu sudah menjadi sedemikian ringan sehingga mudah diucapkan, ketika tidak sungguh-sungguh dimaksudkan? Kalau begitu, berarti mereka sedang melakukan kebohongan terhadap diri sendiri dan orang lain. Aku segera beralih pada pemikiran lain yang jauh lebih positif, enggan memikirkan kebohongan, sekalipun kebohongan itu putih.
Aku mencoba membayangkan rasanya menjalani hari tanpa orang yang biasanya menemani. Betul, aku akan merasa kehilangan seperti orang-orang itu. Sebenarnya lebih pada karena itu berlawanan dengan kebiasaan dan apapun yang tak sejalan dengan kebiasaan selalu terasa ganjil. Barangkali aku akan merasakan resah. Kemudian aku akan merasa sepi, sekalipun sebenarnya dunia di sekitarku dipenuhi putaran lagu-lagu era 70-an dari radio lama milik ayah. Sepi. Ganjil dan sepi.

"Apa rindu itu menjelma sepi? Atau, apakah rindu itu adalah perasaan sepi itu sendiri? Kamu bayangkan, tiba-tiba seseorang yang biasanya menjalani hari denganmu terpaksa tidak lagi disitu bersamamu dan seharian itu kamu melawan kebiasaanmu. Aku akan merasa kesepian..." kataku.

Aku tak butuh lama untuk tanggapannya.
"Kalau begitu kamu merasa kesepian, bukan merindu."
Aku menyangkal. Tidak, tidak begitu. 
"Lalu, seperti apa? Aku memikirkan yang secara nyata terjadi, bukankah seperti itu? Kamu yang lebih bisa merasakan."

Sosok merah marunnya menghela napas, seolah akan memulai penjelasan yang panjang. Aku memperbaiki posisi dudukku selagi menunggu kalimat berderet-deret yang akan ia ucapkan.
"Jadi, ya, aku sependapat kalau seperti pendapatmu tadi, maka kamu melawan kebiasaan dan itu rasanya ganjil. Aku bisa merasakan ganjil itu rasanya seperti apa. Tetapi, merindu lebih dari sekedar itu. Merindu itu rumit dan sederhana pada saat yang bersamaan. Merindu itu rumit, karena kamu merasakan resah dan kesepian pada saat yang sama. Tapi, rindu itu sederhana, karena rindu itu akan tuntas, setuntas-tuntasnya, ketika kamu bertemu dengannya."

Dia menambahkan, "Kamu akan tahu jika rindu berbeda dengan sepi, ketika kamu mencintai dia. Kamu tak meyakin-yakinkan dirimu kamu mencintainya ketika dia tidak sedang di sekitaran. Ketika kamu rindu, kamu benar-benar sudah tahu seperti apa perasaanmu padanya. Kamu tahu itu rindu, karena sekedar sepi tidak akan membuatmu sampai resah, sampai menjelmakan rindu tadi menjadi sajak, percakapan imajiner, atau apa saja, apalagi sampai membawa namanya dalam doamu."

Aku terkagum-kagum pada penjelasan panjangnya yang mengesankan. Ia menepuk bahu merah mudaku lembut,
"Kamu tahu, Otak? Apa yang paling aku senang dari merindu?"
"Tidak, Hati. Apa memangnya?"
"Karena kita bekerja dengan sinergis, aku merasakan itu dan kamu membuat inang kita mengingat lagi ingatan-ingatan itu. Sementara, ketika inang ini jatuh cinta, kita seringkali bekerja dalam kontradiksi sekalipun pada akhirnya kamu seringkali kalah dengan perasaan itu."
Aku berpikir sejenak. "Aku suka saat-saat merindu seperti ini, tapi aku lebih senang saat inang ini jatuh cinta. Sekalipun akal-akal logis kalah, tapi ketika kau bahagia, Hati, aku juga merasakan bahagia yang sama," jawabku.

jeudi 23 juillet 2015

jam jam rindu

Satu dua tiga jam berlalu, kemudian beberapa puluh jam lagi yang habis untuk menunggumu, akan ku kumpulkan dalam satu tumpukan. Mulanya para jam itu akan saling mengenali dengan mudah, gara-gara tubuh mereka semua serupa, syaraf-syarafnya dibangun dengan rindu. Mereka akan mulai saling meleburkan diri, kemudian mengendap di dalam udara yang bebas. Bergerak terbawa udara lalu tiba-tiba berjumpa angin gunung yang mengantarkannya kepada seseorang yang sedang dalam pendakiannya, kamu. Mereka akan diam-diam mengikutimu, lekat dengan gerak-gerik tubuhmu. Sekalipun, mereka tak akan membebaskan diri. Namun, rindu itu akan pecah menjadi rintik-rintik imajiner yang siap menghujanimu kapan saja. Aku tega mengirim rindu untuk menghujanimu, sebab rinduku ingin segera bertemu dengan muaranya. Kamu.

dimanche 19 juillet 2015

rasa dalam secangkir kopi

Perempuan itu meneguk kopinya sedikit demi sedikit. Aku memperhatikan wajahnya ketika tatapan tajam mata itu tak memperhatikanku, ketika ia benar-benar larut dalam kopi hitam pahit kesukaannya. Ia terlihat tenang, tetapi ketenangan permukaannya membuatku ingin meraba lebih jauh apa yang ada di dalam sana.

Tetapi, dia begitu bebas. Dia memiliki semua yang dia mau dan dia melakukan apa yang dia inginkan. Dia berbeda dariku dalam kebanyakan hal, termasuk tentang cara pikirnya dan gaya hidupnya. Dia adalah rupa sempurna seorang perempuan masa kini. Dia yang tidak peduli dan aku yang diam-diam jatuh hati pada perempuan di hadapanku ini.

"Kau begitu suka kopi, ya?" tanyaku begitu ia meletakkan kembali cangkir putih pada piringnya.
"Ya," jawabnya. "Aku sudah kecanduan."
"Katanya, kopi tidak baik untuk perempuan," kataku lagi.
Aku sama sekali tak tahu apa-apa tentang kopi dan alih-alih berusaha sok tahu lalu berujung malu, aku hanya bisa mengatakan fakta penelitian tentang hubungan kopi dengan perempuan yang tidak sehat.
"Lalu, apa kau pikir aku akan berhenti menyukai dan mencandu kopi jika seluruh dunia menghakimi betapa buruknya kopi untukku?" ia balik bertanya.
Aku tahu apa artinya itu.

Kemudian ia bercerita bagaimana perjalanan rasa candunya kepada kopi, bagaimana semua orang menentang itu, dan bagaimana ia, karena penyakitnya, terpaksa mengurangi eksistensi kopi dalam hidupnya. Begitu ia mengkhatamkan bagian tentang kopi dalam perjumpaan ini, aku segera melempar komentarku untuknya.

"Pada akhirnya, kau mengurangi kopi. Berarti, kau lebih mencintai dirimu sendiri, ketimbang kopi yang menjadi kecanduanmu itu."
Dia tersenyum sinis. "Kau salah. Aku mengurangi kopi, supaya aku bisa lebih lama menikmati kopi dalam hidup ini."

Kopi baginya adalah sebuah candu, sebagaimana mencintainya adalah canduku. Aku tak mau menaruh harap, tetapi terus dekat dengannya seperti menumpahkan secangkir kopi di atas kain dari katun, kian lama kian meresap. Pertanyaannya adalah apakah ia pernah dengan sengaja memberiku harapan? Ia bahkan tak pernah sengaja menyentuh cangkir kopi itu, tetapi justru aku yang terus berusaha menumpahkan seluruh isinya yang sepekat jelaga.

Aku diam-diam mencandu dan ia adalah canduku. Aku tidak mau, sekali saja tak mau, mengurangi dosis eksistensinya dalam hidupku. Ironisnya aku pun tak ingin dengan sengaja membuat ia tahu tentang kecanduanku itu. Aku seolah lebih memilih untuk memelihara rasa, seperti memelihara tanaman kopi. Kelak jika tanaman itu telah dewasa akan kupanen buahnya, lalu kuolah bijinya sedemikian rupa. Kemudian akan ku berikan ia secangkir kopi racikanku. Biar aku jadi barista untuk biji-biji rasa yang diam-diam tumbuh karenanya dan biar ia juga yang merasakan seperti apa itu cinta. Dan tentu saja, rasa cinta itu seperti secangkir kopinya jika ditambah dengan dua bungkus gula. Lalu, aku akan berdoa semoga pada saat itu, aku ada di hadapannya dan sedang tersenyum menahan bahagia melihatnya larut dalam nikmat secangkir kopi itu.

Aku diam sesaat, memikirkan hal apa yang bisa kukatakan demi menjaga percakapan ini tetap mengudara setelah hanyut dalam pikiran-pikiran tadi.
"Apa kau pernah berpikir untuk menghilangkan candumu?"
"Jika kau jatuh cinta padaku dan aku membuatmu bahagia, apakah kau pernah berpikir untuk berhenti mencintaiku?" dia bertanya.

vendredi 15 mai 2015

berlayarlah, kapten.

Aku menemukan kita dalam dirimu, sebagaimana tanda tanya telah bertemu jawaban yang memuaskan ingin tahunya. Aku menemukan rindu, ketika percakapan kau dan aku menjadi satu bagian masa lalu. Aku menemukanmu, hanya untuk menyadari bahwa pada doaku masih ada namamu yang ku sebut setulus-tulusnya aku. Aku menemukanmu, hanya untuk menyadari bahwa kau tak lagi seruangan denganku, tak lagi melewati jalanan ini bersamaku sebab kau telah berbelok arah pada suatu persimpangan. Aku menemukanmu, hanya untuk menyadari aku terlambat memahami kepada siapa aku mencintai.

Suatu hari, aku benar-benar rindu untuk bercakap-cakap lagi denganmu melalui layar sentuhku. Aku rindu kau sentuh dengan kalimatmu, rentetan huruf yang datang darimu. Aku bahkan rindu berseteru denganmu, sebab aku suka meyakinkanmu bahwa kamu sama sekali bukan pengganggu. Aku tidak bahagia ketika tiba-tiba tak ada sebaris namamu muncul pada pukul enam pagi untuk menyelamati pagi hariku.

Suatu waktu nanti, tolong datanglah lagi. Selamati lagi pagi hariku. Sapalah lagi malam-malam hariku. Panggilah lagi namaku. Lalu, tenggelamkan aku pada banyaknya percakapan-percakapan yang akan kita miliki ke depan nanti.
Sebab aku benar-benar merindu eksistensimu dalam duniaku.

Berlayar, berlayarlah, kapten.
Sejauh apapun kau mau atau seluas apapun lautan kau seberangi. Jelajahi saja seluruh dunia sepuasmu. Aku percaya jika aku adalah rumah yang digariskan untuk kau tuju, maka seisi dunia pun akan sepakat menciptakan konspirasi untuk membawamu pulang kembali padaku. 


samedi 4 avril 2015

teman kopi

Hari-hari ini aku sungguh tidak tenang. Ada beberapa hal yang tidak mesti dipikirkan, tetapi justru menjadi beban. Pikiran-pikiran itu seperti pusaran air pada perairan, sedangkan aku penyelam amatiran yang setengah-setengah dalam berenang dan berakhir terjebak di dalam pusaran itu. Berputar-putar, tapi tidak tahu bagaimana caranya melepaskan diri. 

Bercangkir-cangkir kopi menyatu dalam nadiku, entah berapa kandungan kafein dalam darah di tubuhku. Berhari-hari sudah seperti ini. Aku tidak peduli. Sekalipun kopi justru semakin memberi nyawa pada kecemasan yang bersemayam dalam, aku tetap meneguknya sebab aku butuh teman untuk meredakan pikiran-pikiran. Tapi, seringkali caraku itu gagal. Ketika cangkir-cangkir itu mulai kehabisan isinya yang berpindah ke dalam aku, aku kesepian lagi, sebab yang ku butuhkan adalah teman sungguhan. Bukan sekadar kopi dalam gelas.


Aku ingin duduk di suatu ruang dimana ada secangkir kopi disana. Aku ingin ruang itu hampa tak ada siapapun kecuali kamu, tapi kamu pun jangan bersuara. Jangan coba sapa aku atau minta aku bercerita ada apa, sebab aku sedang gundah. Aku hanya butuh kehadiranmu di dekatku. Tidak untuk melakukan apa-apa, aku benar-benar butuh kamu di sekitaran pandang. Diam saja. Sebab hadirmu saja sudah membuatku berada dalam ketenangan yang terlalu langka pada hari-hari belakangan ini. Lalu, kamu tahu untuk apa secangkir kopi di dalam ruangan ini? Sebenarnya itu untuk kamu, supaya kamu betah berlama-lama menemaniku.

mardi 6 janvier 2015

Barisan Sajak

Pada satu malam, kau baru saja pulang kerja beberapa jam lalu dan kini tengah berlelah. Wajahmu terlihat berpenat setelah tenggelam dalam derasnya rutinitas. Kau tak banyak bicara ketika letih bermanja-manja di punggungmu, maka kubiarkan saja kau rebah.
Aku mendekat perlahan,
"Ada yang ingin kutunjukkan," ucapku.
Kau membuka mata yang tadinya memejam rapat.
"Apa?"
Ku tunjukkan padamu sajak-sajak milikku yang berbaris rapi dan sebentar saja, kau telah larut pada apa yang kau baca. Sesekali, dahimu mengernyit, seolah ada sesuatu yang ganjil. Setelah berapa waktu, kau beralih padaku dengan tatapan curiga dan bertanya kepada siapakah semua sajak-sajak itu ditujukan.
Ada hening sejenak sebelum akhirnya kukatakan,
"Bagaimana perasaanmu jika kau tahu kalau semua sajak itu sebenarnya tentangmu?"

vendredi 2 janvier 2015

Senja Berhujan

Suatu senja berhujan
ada ingatan yang dilawan oleh lupa,
dan aku yang bersembunyi di balik punggungmu
dari kehujanan.
Suatu senja berhujan,
mungkin kau pun akan ingat
pada percakapan di sepanjang perjalanan
dan di sela-sela dialog para pemeran.
Dan jaket hitam milikmu yang kau berikan
kepada seorang perempuan
sebab kau tahu ia kedinginan.
Suatu senja berhujan
dan pertanyaannya adalah siapa yang paling cepat melupakan

Seperti Awan, Ia Pergi Begitu Saja

Sebaris nama dan cerita di penghujung tahun. Di dalamnya ada hari-hari dimana harapan diberikan cuma-cuma tanpa perlu diminta. Percakapan-percakapan rahasia tentang apa saja. Karcis-karcis bioskop yang kini hanya tergeletak di atas meja. Ingatan yang berusaha dilawan oleh lupa. Juga, getar-getar rasa yang kemudian lenyap tanpa sisa. Aku bertanya, kemanakah perginya? 

Isyarat-isyarat halusnya yang sanggup berbahasa dan kode-kode Morse darinya yang membawa makna. Sepasang mata sayu dengan bulu mata lentik milik seseorang yang tidak kusangka datangnya dan tidak kusadari perginya. Seperti awan, ia pergi begitu saja dan tahu-tahu rasa miliknya itu sudah tak ada.

Barangkali karena ia dan aku begitu berbeda. Dan ia merasa perbedaannya denganku itu sedalam lagi securam jurang-jurang yang mesti ia lewati untuk menuju rumahnya. Jika ia selalu baik-baik saja dalam melewati jurang-jurang itu, kali ini ia tidak akan selamat apalagi baik-baik saja dalam usahanya melewati jurang perbedaannya denganku.

Tidak ada sebab yang membuatku paham kenapa ia pergi dengan meninggalkan harapan bersamaku. Tidak ada ucapan perpisahan atau bahkan sebuah perseteruan, sebab tiba-tiba ia pergi begitu saja. Bahkan, tidak kulihat punggungnya menjauh, sebab aku terbangun suatu pagi dan tahu-tahu ia sudah mengambil kembali hatinya yang dulu ia genggamkan padaku.